Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Teori - Bagian 1

Indonesia sudah menegaskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Disebutkan sebagai negara hukum pada arti diidealkan bahwa yg harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah aturan.

Lantaran hukum dalam dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yg dianut oleh negara yang bersangkutan & merupakan dasar utama berdirinya suatu negara.

Hukum adalah sumber tertinggi (supremasi hukum) pada mengatur dan memilih mekanisme hubungan aturan antara negara & warga atau antar anggota rakyat yg satu menggunakan yg lain.

Termasuk pada dalamnya merupakan putusan Hakim dalam memberikan keadilan wajib berdasarkan pada hukum lantaran Indonesia merupakan negara hukum.

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Perspektif Teori - Bagian 1

Analisis Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Perspektif Teori - Bagian 1

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang menurut atas hukum & keadilan terkonstruksi pada pondasi berdasarkan negara aturan.

Terdapat beberapa teori mengenai negara hukum yg berkaitan menggunakan urgensi kekuasaan kehakiman, diantaranya adalah berdasarkan Sri Soemantri, ciri-ciri negara menurut atas hukum sekurang-kurangnya terdapat 4, yaitu :

  1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia (dan warga negara)
  2. Adanya pembagian kekuasaan
  3. Dalam melaksanakan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis
  4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas mereka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

Sementara itu menurut Padmo Wahjono, pokok-utama negara aturan merupakan menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan, adanya suatu mekanisme kelembagaan negara yg demokrasi, adanya suatu sistem tertib aturan dan adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.

Demikian pentingnya sebuah aplikasi kekuasaan kehakiman yg merdeka atau independen ini sehingga dijadikan menjadi keliru satu pilar negara aturan yg bergantung dan terpengaruh.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman (yudikatif) adalah independen dan diselenggarakan demi keadilan menurut Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karenanya Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa tanpa peradilan yang bebas maka tidak ada negara hukum dan demokrasi. Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.

Menurut Frank Cross, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan /atau kebebasan Hakim, bukanlah kemerdekaan atau kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman & kebebasan Hakim diartikan menjadi kemerdekaan atau kebebasan proses yudisial yang meliputi :

  • Bebas dari tekanan, campur tangan dan rasa takut ketika memeriksa dan memutus perkara
  • Tidak ada yang dapat menolak melaksanakan putusan Hakim. Putusan Hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan dilaksanakan.
  • Hakim tidak boleh diganggu gugat atau dituntut dengan alasan putusannya salah atau merugikan olrang lain.
  • Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan (seperti penurunan pangkat, diberhentikan) karena putusannya.

Berkaitan menggunakan independensi peradilan ini nir berarti harus dimaknai bahwa Hakim bisa memiliki kebebasan yang tanpa batas.

Maruarar Siahaan menyatakan bahwa independensi wajib dimaknai dalam batas-batas yg ditentukan oleh hukum dan pada rangka menerapkan hukum secara adil, menggunakan mana juga independensi tadi berjalan seiring menggunakan akuntabilitas yang diwujudkan pada pengawasan.

Bagir Manan menegaskan bahwa wujud dari kekuasaan forum peradilan yang merdeka merupakan adanya kebebasan Hakim dalam memutus perkara. Hal ini bukan berarti Hakim boleh memutus masalah dengan sewenang-wenang, melainkan dengan batasan menjadi berikut :

  1. Memutus perkara berdasarkan hukum
  2. Untuk memberikan dan memenuhi rasa keadilan
  3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi, maupun penemuan hukum harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum (general principles of law)
  4. Harus ada mekanisme menindak Hakim yang memutus secara sewenang-wenang (terutama yang berkaitan dengan pelanggaran "code of conduct"

Berdasarkan uraian tentang batasan kebebasan Hakim dalam memutus perkara ini, terdapat hal yang menarik dan berkorelasi dengan pengkajian pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Yaitu bahwa Hakim pada memutus masalah wajib didasarkan atas hukum & rasa keadilan dan bilamana melakukan penafsiran, konstruksi juga inovasi aturan harus berpegang teguh pada asas-asas hukum generik.

Dalam konteks ini bisa diambil benang merahnya bahwa Hakim dalam menjalankan tugas mengadili menggunakan menerima, memeriksa & memutus perkara mentaati & mengikuti asas-asas aturan acara pidana serta penafsiran aturan adalah sebuah keniscayaan.

Apalagi bila dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pencari keadilan atau pihak-pihak yg diadili, tentu harus diadili sinkron menggunakan prosedur yang diterapkan pada hukum program peradilan yg terkait.

Oleh karenanya pelanggaran terhadap mekanisme beracara dikategorikan sebagai pelanggaran yang serius (code of conduct), kecuali jika terdapat hal atau masalah "ketidak-jelasan normatif" yang memerlukan penafsiran hukum oleh Hakim.

Pompe berpendapat bahwa buat memberlakukan Undang-Undang pidana itu sebenarnya Hakim yang memiliki suatu kebebasan yang akbar, oleh karena dalam akhirnya Hakimlah yg harus menilai apakah suatu perkara atau suatu kalimat yg masih ada didalam Undang-Undang itu sudah jelas atau belum.

Jika Hakim berpendapat bahwa suatu perkkataan atau suatu kelimat yg masih ada pada Undang-Undang nir jelas, maka beliau mempunyai suatu kebebasan buat berusaha mengetahui arti yg sebenarnya menurut perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai menggunakan maksud pembentuk Undang-Undang maupun sinkron dengan maksud Undang-Undang itu sendiri.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2