Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia
Oleh: Jecky Tengens, SH - Konsep pendekatan restorative justice adalah suatu pendekatan yg lebih menitik-beratkan dalam syarat terciptanya keadilan & ekuilibrium bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Pendekatan Restorative Justice
Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini mempunyai arti ?Meski langit runtuh keadilan wajib ditegakkan?.
Pepatah ini lalu menjadi sangat populer karena tak jarang digunakan menjadi dasar argumen pembenaran dalam aplikasi sebuah sistem peraturan hukum.
Dalam penerapannya, adagium tadi seolah-olah diimplementasikan pada sebuah kerangka pemikiran yg sempit bertopeng dalih penegakan & kepastian hukum.
Tatanan instrumen hukum acara pidana & pemidanaan di Indonesia telah mengatur tentang prosedur formal yang wajib dilewati dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana.
Tetapi sayangnya, sistem formil tadi pada praktiknya tak jarang digunakan menjadi alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum.
Lihatlah bagaimana contoh perkara yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud mengenai dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri.
Pendekatan Restorative Justice pada Sistem Pidana Indonesia
Kedua belah pihak yakni 2 pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, tetapi polisi berbalutkan atribut penegak aturan lebih menentukan buat meneruskan kasus tadi hingga hingga ke pengadilan.
Sebuah model konkret dimana sistem formil pidana telah dijadikan indera represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.
Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal sang rakyat luas artinya perkara Deli, seseorang pelajar Sekolah Menengah pertama yg dituduh mencuri voucher sebagai akibatnya wajib menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan.
Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri 2 biji kakao sehingga wajib duduk di kursi pesakitan pada menjalani persidangan. Jangan jua kita lupakan masalah nenek Rasmiah yg dituduh mencuri sop buntut & piring majikannya yg lalu wajib berujung di meja hijau.
Kepentingan Korban dan Pelaku
Apa sebenarnya yang sebagai tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan?
Apakah untuk membangun pengaruh jera?
Apakah buat membentuk keteraturan & keamanan?
Apakah buat membentuk tegaknya aturan aturan?
Banyak jawaban yang terlontar, tetapi yang niscaya tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan merupakan bukan terletak dalam banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yg menghuni tempat tinggal tahanan (rutan) dan forum pemasyarakatan.
Sistem pemidanaan seakan nir lagi membangun impak jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah berimbas dalam banyaknya tindak kriminal yg terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas.
Pengawasan yg lemah nir berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. Lapasseolah nir lagi sebagai tempat yang sempurna dalam me-rakyat-kan kembali para narapidana tadi, malah seolahlapas sudah bergeser kegunaannya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih ?Diasah? Kemampuannya pada melakukan tindakan pidana.
Bagaimana dengan kepentingan korban?
Apakah menggunakan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya?
Belum tentu hal itu dapat dipenuhi menggunakan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku.
Dalam perkara yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta, sebagaimana yg diungkapkan pada atas, posisi pelaku dan korban yg telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut.
Pihak penegak aturan seakan tidak melihat fenomena bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak terdapat kepentingannya yang dilanggar lantaran yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yg melibatkan para pelaku yg notabene masih berstatus pelajar Sekolah Menengah pertama.
Proses formil tersebut wajib terus digulirkan lantaran sudah termasuk dalam ranah aturan acara pidana (criminal justice system), kilah penegak aturan dalam biasanya.
Konsep seperti inilah yang nir memberi proteksi & penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku.
Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yg disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan pada masyarakat, tanpa melihat kepentingan rakyat, & tanpa melihat kemaslahatannya di warga .
Suatu pengantar yang relatif dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice Sytem di Indonesia.
Pendekatan restorative justice
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yg lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan & keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korbannya sendiri.
Mekanisme tata acara & peradilan pidana yang serius pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi buat menciptakan konvensi atas penyelesaian kasus pidana yang lebih adil & seimbang bagi pihak korban & pelaku.
Restorative justice itu sendiri mempunyai makna keadilan yang merestorasi, apa yg sebenarnya direstorasi?
Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan interaksi antara pihak korban & pelaku.
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas konvensi beserta antara korban dan pelaku.
Pihak korban bisa membicarakan mengenai kerugian yg dideritanya & pelaku pun diberi kesempatan buat menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, juga konvensi-kesepakatan lainnya.
Kenapa hal ini menjadi krusial? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang pada pihak yang terlibat, pada hal ini korban dan pelaku buat berpartisipasi aktif dalam penyelesaian kasus mereka.
Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan aturan yg hanya menjadi jurisdiksi para penegak aturan.
Partisipasi aktif berdasarkan rakyat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara dalam putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional contohnya bila sudah terjadi perdamaian antara pelaku & korban, & sang korban sudah memaafkan oleh pelaku, maka hal tersebut tidak akan sanggup menghipnotis wewenang penegak aturan buat terus meneruskan perkara tadi ke ranah pidana yg nantinya berujung pada pemidanaan oleh pelaku pidana.
Proses formal pidana yang makan waktu lama serta nir memberikan kepastian bagi pelaku juga korban tentu nir dan merta memenuhi maupun memulihkan interaksi antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menunjukkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku & korban secara eksklusif dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya berakibat korban nantinya menjadi saksi dalam tingkat persidangan yg nir banyak mensugesti putusan pemidanaan, tugas penuntutan permanen diberikan terhadap Jaksa yg hanya menerima berkas-berkas penyidikan buat selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi pertarungan tadi secara riil, & oleh pelaku berada di kursi pesakitan siap buat menerima pidana yg akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan buat menyampingkan masalah pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki sang Jaksa Agung.
Dalam praktiknya pun sebenarnya di taraf penyidikan kepolisian seringkali terbentur menggunakan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah kasus pidana, diskresi yg dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah kasus buat terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yg cukup.
Jika terdapat bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan masalah tersebut. Oleh karenanya di pada RUU KUHAP yang terkini perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yg lebih humanis, lebih menekankan & mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yg formil.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan pada melaksanakan perdamaian antara korban & pelaku acapkali bersumber pada perilaku penegak aturan yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian.
Menurut beliau, apakah terdapat tujuan pemidanaan yang belum tercapai jika para pihak telah berdamai satu sama lain? Tujuan penegakan aturan bukanlah buat menerapkan hukum, melainkan buat mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan warga yg serasi dan adil.
Kisah dari Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimanatertuang pada kitab ?Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir? Akan saya kutip buat menambah ruang pertanyaan pada benak anda mengenai konsep restorative justice ini;
?Hampir 40 tahun kemudian-ketika itu saya belum usang memperoleh gelar Sarjana Hukum- aku ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....Saat membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman & sekaligus meminta pendapat aku .
Perwira Komandan Batalyon yg bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua grup rakyat tradisional di suatu tempat.
Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi kasus menjadi lebih meluas & rumit.
Kedua pihak yang bertikai menggunakan ancaman kekerasan ?Mengepung? Tempat kerja loka tahanan & menuntut mitra-mitra mereka dibebaskan, pada pihak lain pertikaian berjalan terus.
Untuk mengatasi dilema, Batalyon merogoh kebijakan mengusahakan perdamaian antara grup yang bertikai.
Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih fauna, ke 2 grup diundang. Kedua grup menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu ke 2 grup berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses aturan dilarang.
Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tadi kemudian bertanya, apakah tindakan kami keliru, nir meneruskan proses aturan tersebut, sedangkan yang terjadi merupakan suatu tindak pidana??
Jawaban berdasarkan pertanyaan tadi mungkin beragam, terdapat yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada pula yang tidak putusan bulat jika proses aturan dilarang.
Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, galat satu tujuan hukum pidana adalah tegaknya ketertiban dan perdamaian, jika dengan cara-cara yg ditempuh sudah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan sudah tercapai sebagai akibatnya tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.
Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, & sepantasnya sebuah ?Karya agung? Bangsa Indonesia yg digunakan sebagai dasar formil pada setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi warga , pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yg tidak membentuk keadilan di pada masyarakat.
Karena sejatinya yg dicari dalam sebuah proses pemidanaan pun adalah keadilan, sebagai akibatnya oleh pemutus nantinya mampu membentuk putusan yg menurut keadilan dan bukan dari hukum, sama misalnya adagium populer yg digunakan menjadi pembuka menurut goresan pena ini ?Fiat Justisia Ruat Coelum?, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan.