Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Normatif
Secara normatif hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) tidak mengatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan harus sesuai ataupun di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan tidak diperbolehkan melebihi tuntutan tersebut (ultra petitum).
Putusan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Pada umumnya memang poly ditemukan pada praktek peradilan, Hakim memutus sinkron atau pada bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Namun dalam kasus tertentu dimana ditemukan dalam fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga Hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam prakteknya, banyak kasus pidana yang putusannya melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Sebagaimana ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP bahwa musyawarah majelis Hakim didasarkan dalam surat dakwaan & segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan.
Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Perspektif Normatif
Dengan tetap mengacu pada surat dakwaan, majelis bermusyawarah mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan a quo dua alat bukti yang sah dan meyakinkan (Pasal 183 KUHAP) kemudian memutuskan pemidanaan yang sesuai dengan pertimbangan hukum Majelis baik yang meringankan maupun memberatkan terdakwa.
Apabila diyakini masih ada hal yang cukup memberatkan & dirasa perlu dijatuhkan pemidanaan yang lebih tinggi menurut tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka hal ini tidaklah melanggar Hukum Acara Pidana. Karena secara normatif nir terdapat ketentuan pada KUHAP yg melarang Hakim memutus melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Merupakan hak dari dalam Hakim memutus sinkron kabar persidangan & keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum apabila dirasa adil & rasional.
Apalagi merupakan sebuah empiris bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sinkron menggunakan batasan aporisma ancaman pidana yg masih ada secara eksplisit pada peraturan Perundang-undangan.
Hakim dapat memutus lebih tinggi berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tetapi nir boleh melebihi batasan maksimum ancaman pidana yg ditentukan oleh Undang-Undang.
Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada Kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1953 K/ Pid/ 1988 tanggal 23 Januari 1993.
Selain itu juga tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP.
Jenis pidana tadi haruslah didasarkan atas Pasal 10 KUHAP yaitu pidana utama (yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, & pidana denda ) & pidana tambahan (yang terdiri menurut pencabutan hak tertentu, perampasan barang-barang eksklusif & pengumuman putusan Hakim),
Dalam konteks ini berhubungan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana) yg terkait dengan jenis pidana yang dapat dijatuhkan pada putusan pemidanaan oleh Hakim.
Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih jenis pidana yang sesuai tercantum dalam Undang-Undang, hal ini merupakan conditio sine quanon dari penerapan sistem alternatif yang ada dalam KUHP. Hakim pun dapat leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana (stafmaat) dari jenis pidana (sebagaimana diatur dalam KUHP) yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum umum dan maksimum umum yang ada, dalam konteks ini bergantung dari keyakinan dan filosofi serta tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan oleh Hakim.
Selain menurut ke 2 hal ini (batas ancaman maksimum pidana & jenis pidana yang dipengaruhi dalam Undang-Undang) Hakim mempunyai kebebasan dan kemandirian.
Sebagaimana tugas seorang Hakim yang nir saja menegakkan aturan, melainkan juga menjadi penegak keadilan.
Maka dari itu pertimbangan hukum yang cukup dengan didasari sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah keadilan substantif bagi Terdakwa dapat menjadi landasan konstitusional bagi Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Apalagi secara konstitusionalisme kemerdekaan Hakim dalam memutus perkara dijamin oleh UUD 1945, sehingga penafsiran atas keadilan yang tepat & sesuai menggunakan masalah yg ditanganinya adalah bagian otoritas dari Hakim.
Dalam konteks inilah tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukanlah suatu hal yg pasti & wajib diikuti menggunakan pemidanaan yang sesuai seleranya, lantaran Hakim bukanlah forum stempel yang fungsinya mekanistik dan keberadaannya tidaklah berada dibawah Jaksa sebagai akibatnya kemandirian Hakim dalam memutus pemidanaan tidak dapat diintervensi sang tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Demikian penting kebebasan Hakim dalam memutus pemidanaan tersebut (mengacu & sinkron atau tidak menggunakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum) hingga terjaminkan pada sebuah konstruksi negara aturan Indonesia.