Memilah Korupsi Desa

Korupsi desa mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran dana desa pada 2015.

Foto ilustrasi: Ayo Bangun Desa

Sebelum menggurita laksana korupsi dalam 54 % pemerintahan wilayah (pemda) dan 35 persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang, masih ada dua kelemahan fundamental, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa & (dua) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.

Dari tahun ke tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak dalam 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi taraf kementerian. Alasannya, dana desa tersalur pribadi dari bendahara negara ke kas Pemerintah Daerah.

Mustahil menihilkan korupsi pada tengah euforia dana desa. Pemda jua enggan menyalurkan dana desa lantaran berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya, sempat diganjar pengurangan dana sentra karena menolak dana desa dalam 2015 meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.

Beban Pemerintah Daerah menguap sehabis pemerintah sentra mensyaratkan laporan penggunaan keuangan desa buat pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah makna pelimpahan tanggung jawab masalah korupsi pada ketua desa.

Pseudo-korupsi

Penyalahgunaan dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil & pseudo-korupsi. Kepala desa melakukan korupsi riil saat ia menilap dana desa, melarikan uang tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi keluarga. Dalam inspeksi lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya menjadi koruptor menggunakan sanksi pidana/perdata.

Namun, pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi menjadi sumber lain penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tidak terdapat motivasi ketua desa korupsi & selama ini ia dikenal bersih.

Kepala desa terjerembap masalah pseudo-korupsi, terutama karena lalai tetapkan regulasi sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sinkron aturan yg berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk waktu menaikkan kualitas bangunan hambatan banjir dengan mengurangi panjang bangunan berdasarkan dana desa, akan tetapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran masyarakat. Sayang, dia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.

Kepala desa juga jadi pesakitan lantaran memutuskan penggunaan dana desa pada luar Permen Desa PDTT. Pencairannya buat pemugaran balai desa & pemenuhan bahan serta alat-alat birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan mengambarkan pentingnya alat, bahan, & ruangan buat mempertinggi layanan masyarakat dan deliberasi keputusan desa.

Secara sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa & warganya berhak tetapkan dana desa. Aturan tahunan menteri & ketua forum pada sentra, serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa. Akibatnya, kebutuhan desa tidak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.

Kritiknya, saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah sentra & daerah kala pribadi memutuskan penggunaannya buat embung, lapangan bola, holding atau perseroan terbatas badan bisnis milik desa pada level kabupaten hingga nasional.

Kepala desa juga dituduh korupsi waktu mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran warga guna mendanai proyek pemerintah sentra dan daerah. Padahal, UU No 6/2014 Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai tambahan aturan. Kini ketua desa sedang meminta regulasi penggalangan dana di desa buat menutupi ketiadaan aturan program nasional sertifikasi tanah.

Kebijakan advokasi

Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan anggaran yang bertumpang tindih maupun antagonis. Ketidakpastian aturan pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.

UU No 6/2014 sudah melarang kepala desa, perangkat desa, & anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Tetapi, sanksi korupsi hanya ada pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan & pemberhentian kepala desa. Tak terdapat hukuman bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, & KPK bersama-sama mengharmoniskan anggaran korupsi desa. Isinya indikator & jenis korupsi desa, tata cara pelaporan & proteksi saksi, proses pencegahan dan verifikasi korupsi, & hukuman bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.

Pada waktu bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yg disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan selesainya hukuman berkeputusan tetap. Inovasi angka kepegawaian wilayah bagi mereka, misalnya di Serang dan Cirebon, bisa sebagai dasar advokasi oleh pemerintah wilayah & pusat. Asosiasi ketua desa, perangkat desa, & BPD juga bisa mengadvokasi proses sah mereka.

Oleh Ivanovich Agusta

Sosiolog Pedesaan IPB Bogor

Kompas, 26 April 2017

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2