Bumerang Dana Desa
"Kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa.”
Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi korupsi. Ada kesempatan tetapi tidak ada niat, juga tidak akan terjadi korupsi. Adanya niat dan kesempatan itulah yang menyebabkan banyak kepala desa (kades), misalnya, melakukan korupsi dana desa.
Seperti disampaikan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, setelah KPK menerima kunjungan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo untuk koordinasi pencegahan penyimpangan dana desa, Rabu (1/2), ada indikasi penyimpangan dana desa yang disebabkan oleh sistemnya.
Bolong-bolong sistem dalam pengelolaan dana desa itulah yang menjadi kesempatan penyimpangan dana desa. Sepanjang 2016, KPK menerima 362 laporan masyarakat terkait dengan dana desa. Dari 362 laporan itu, 141 laporan direkomendasikan ditelaah, dan dari keseluruhan yang telah ditelaah, ada 87 laporan yang dikaji lebih dalam. Sebanyak 87 laporan inilah yang akan diusut KPK. Pasal 11 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang; a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penagak hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar. Apakah kades termasuk penyelenggara negara?
Sesuai dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kades tidak termasuk pejabat negara. Adapun Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan, ”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Apakah kades termasuk ke dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 tersebut? Masih debatable.
Katakanlah tidak termasuk penyelenggara negara, dan nilai korupsinya pun tak sampai Rp1 miliar, namun bila kasusnya menarik perhatian yang meresahkan masyarakat, kades tetap bisa dijerat oleh KPK, bahkan meskipun terjadi di sebuah desa terpencil nun jauh dari Jakarta. Bagaimana dengan niat?
Niat ini relatif, karena adanya di dalam hati. Namun, bila melihat besarnya dana desa, bisa jadi seseorang yang semula tidak berniat korupsi kemudian timbul niat.
Tiap Tahun Naik
Setiap tahun Presiden Joko Widodo dan DPR RI menaikkan anggaran dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2015, dana desa sebesar Rp 20,8 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 46,96 triliun, tahun 2017 ini naik menjadi Rp 60 triliun, dan tahun depan akan naik lagi menjadi Rp 120 triliun.
Saat ini, dana desa yang diterima rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa, dan akan ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar per desa. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per desa. Bayangkan, sebuah desa yang biasanya berkutat dengan anggaran puluhan atau ratusan juta rupiah, kini harus mengurus anggaran miliaran rupiah. Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kades atau pejabat desa lainnya, sehingga kemudian timbul niat untuk korupsi. Apalagi, dana yang harus dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saat ini, terutama untuk ”serangan fajar”, ralatif tinggi, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah.
Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang calon kades bisa menghabiskan uang hingga Rp 3 miliar. Bila dilihat dari gaji atau ìbengkokî dan fasilitas lainnya yang diterima kades, secara logika, tak mungkin dana sebesar itu bisa kembali atau break effent point (BEP) dalam 6 tahun masa jabatan kades. Satu-satunya jalan agar kembali modal adalah korupsi.
Maka tak heran bila saat ini banyak kades yang terlibat korupsi dana desa. Niat dan kesempatan kian sempurna bila berpadu dengan ketidakmampuan kepala desa dalam mengelola anggaran, dan kekuasaan yang dimiliki kepala desa yang hanya dikontrol oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang biasanya anggota dan pimpinannya adalah orang-orang dekat kades. Kesalahan administrasi saja bisa mengantarkan kades ke penjara. Di sisi lain, kekuasaan yang dimiliki kades, sebagaimana dalil Lord Acton (1834-1902) ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung korup mutlak pula), juga bisa mengantarkan kades ke penjara. Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi.
Ini selaras dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang sebelumnya tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Akankah melimpahnya dana desa tersebut menjadi bumerang yang mencelakakan kades dan rakyatnya?
Bisa jadi, terutama bila kades kurang berhati-hati. Sebab itu, kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa. KPK juga sudah mengimbau agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan dana desa.
Pendampingan harus dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, termasuk dalam menyusun pelaporan dan pertanggungjawabannya. Di sisi lain, kita berharap para kades membekali diri dengan kemampuan manajemen dan administrasi keuangan. Melawan korupsi tidak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan. Bahkan mencegah lebih baik daripada mengobati.[]
Oleh Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Peneliti Senior di LIPI, Koran Sindo, 10/02/2017.