“Good Governance” dan Dana Desa
Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawacita ketiga. Bunyinya, ”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pembangunan selama ini fokus di perkotaan, kini di balik dari perdesaan.
Terkait pembangunan desa, Widjaja (2004) mengatakan desa yang otonom akan memberi ruang gerak luas perencanaan pembangunan. Dia tidak banyak terbebani program kerja berbagai instansi dan pemerintah. Untuk melakukan otonomi desa segenap potensi baik kelembagaan, sumber daya alam, maupun manusia harus dioptimalkan.
Selama ini, desa mungkin lebih dijadikan objek pembangunan atau bahkan pelengkap penderita. Sonny Mumbunan (2010) mengatakan sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, secara umum ringkih lantaran mayoritas terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi desa. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumber daya keuangan untuk dialokasikan ke desa. Mobilisasi sumber daya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa.
Realisasi Dana Desa terus naik dari 20,76 triliun rupiah pada 2015 menjadi 46,98 triliun rupiah tahun 2016. Kemudian menjadi 60 triliun tahun 2017 dan tahun depan diperkirakan mencapai 100 triliun. Namun demikian, peringatan awal mengenai penyalahgunaan dana desa sudah muncul. KPK pada 3 Agustus 2017 telah menerima 362 laporan penyalahgunaan dana desa.
Beberapa kepala desa sudah diproses secara hukum, bahkan sudah masuk penjara karena tergoda dana desa. Memang kecil dibanding penerima dana desa dari 74.000 desa. Pemerintah telah menetapkan good governance (GG) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan untuk memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Bila prinsip-prinsipnya ditaati dengan baik, tercipta tata kelola pemerintahan yang baik serta clean and clear.
Namun, sampai kini harapan tersebut jauh panggang dari api. Uang negara beredar di pusat-pusat kekuasaan provinsi dan kabupaten/kota tidak kunjung melahirkan pelayanan prima masyarakat yang menjadi tujuan GG.
Sesuai dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang. Ini termasuk segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.
Sementara itu, dalam Pasal 72 Ayat (1) disebutkan pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota. Kemudian, dari alokasi dana desa yang merupakan bagian dana perimbangan, bantuan keuangan APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Ada juga hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat (2), besaran alokasi anggaran langsung ke desa, ditentukan 10 persen dari dan di luar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Dalam penyusunan dana desa dari APBN mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi. Rata-rata setiap desa akan mendapat 1,4 miliar.
Pengalokasian dana desa diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan publik, memajukan perekonomian, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat masyarakat sebagai subjek pembangunan. Karena itu, pengelolaan dana desa harus memenuhi kaidah GG yang menjadi pedoman dalam tata kelola pemerintahan.
Prinsip GG
Good dalam GG berarti menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan dapat meningkatkan kemampuan warga mencapai kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial. Kemudian juga berarti aspek fungsional pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2003).
Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan prinsip-prinsip GG. Menurut UNDP, prinsip-prinsip GG adalah partisipasi warga, supremasi hukum, transparan, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan bervisi strategis.
Menurut Talcott Parson, ciri-ciri masyarakat desa (gemeinschaft) adalah afektivitas, yakni hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa tolong-menolong. Orientasi kolektif, artinya meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak (enggan) berbeda pendapat. Partikularisme, yaitu semua yang berhubungan khusus dengan daerah tertentu saja, perasaan subjektif, dan rasa kebersamaan.
Askripsi adalah berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang disengaja. Namun, lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Kekaburan adalah sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antarpribadi, tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit.
Kepala desa biasanya mengenal banyak warga. Sebaliknya, rakyat sangat mengenal kepala desa dan perangkatnya. Mereka lebih condong kepada hubungan kekeluargaan daripada formal pemerintahan. Hubungan individual pamong dan warga juga sangat intensif nonformal. Mereka bisa berkomunikasi langsung setiap saat.
Di Jawa, kepala desa dan perangkatnya dikenal dengan sebutan pamong desa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pamong desa adalah orang-orang yang menangani pemerintahan (administrasi) desa. Namun, kata pamong sendiri memiliki arti pengasuh, pendidik, dan pengurus. Maka, pamong desa harus menjalankan fungsi mengasuh, mendidik, dan mengurus warga. Inilah yang membuat seorang kepala desa dan perangkatnya harus bisa melayani warga 24 jam. Ciri afektif ini akan mendorong prinsip peduli pada stakeholder dan partisipasi masyarakat dalam prinsip GG.
Kedekatan individual dan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari melahirkan kontrol sosial yang hidup menjadi nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Dalam sebuah desa mereka saling tahu sumber ekonomi setiap warga. Tanpa disadari pula telah eksis budaya transparansi dan akuntabilitas di setiap desa, apalagi desa adat. Kontrol sosial ini sangat efektif dan efisien.
Misalnya, ada seorang warga yang mendadak kehidupan ekonominya membubung tinggi. Ini akan menjadi pembicaraan warga. Secara cepat masyarakat tahu asal kekayaan tersebut. Kontrol sosial melekat ini membuat masyarakat desa akan sangat berhati-hati dalam bertindak, apalagi berbuat jahat. Budaya ini akan melahirkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan supremasi hukum.
Sementara itu, prinsip berorientasi pada konsensus, kesetaraan dan visi strategis terwujud dalam orientasi kolektif. Artinya, meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, enggan berbeda pendapat. Masyarakat desa terbiasa bermusyawarah untuk mufakat yang mengandung konsensus, kesetaraan dan visi strategis yakni gotong royong. Prinsip gotong royong ini juga akan melahirkan kinerja yang efektif dan efisien.
Penulis Mahasiswa Program Doktoral IPDN Jakarta
Sumber: http://www.koran-jakarta.com.