Dana Desa Sebagai Solusi Urbanisasi

Rancangan APBN (R-APBN) 2015 yang disampaikan sang Presiden SBY pada DPR, telah mengalokasikan Dana Desa sebesar Rp9,06 triliun. Alokasi tersebut tercantum di dalam postur alokasi Transfer ke Daerah; Rp630,9 triliun bersama menggunakan komponen Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK); Rp509,lima triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat & NAD); Rp16,5 triliun, Dana Keistimewaan DIY; Rp547 miliar dan Dana Transfer Lainnya; Rp104.4 triliun.

Pengaturan Dana Desa pada dalam UU tersebut masuk melalui pembahasan keuangan desa. Dalam pasal Pasal 71 ayat (1), yg dimaksud dengan keuangan desa merupakan seluruh hak dan kewajiban desa yg dapat dievaluasi menggunakan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yg herbi pelaksanaan hak & kewajiban desa. Hak & kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tadi menyebabkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.

Sementara dalam pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (dua) bersumber dari: pendapatan asli Desa terdiri atas output usaha, hasil aset, swadaya & partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; alokasi Anggaran Pendapatan & Belanja Negara; bagian menurut output pajak wilayah dan retribusi wilayah kabupaten/kota; alokasi dana Desa yang adalah bagian berdasarkan dana perimbangan yg diterima kabupaten/kota; donasi keuangan berdasarkan Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; hibah & sumbangan yg nir mengikat berdasarkan pihak ketiga; dan lain-lain pendapatan Desa yg sah.

Di dalam penjelasan pasal 72 ayat (2), besaran alokasi aturan yang peruntukannya langsung ke desa, dipengaruhi 10% dari & diluar dana transfer ke daerah (on top) secara sedikit demi sedikit. Dalam penyusunannya, aturan yg bersumber berdasarkan APBN buat desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk (JP), nomor kemiskinan, luas wilayah (LW), & tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Dasar pengalokasian inilah yg seharusnya tersampaikan secara sempurna pada seluruh aparat desa yang nantinya akan mengelola. Artinya semua desa pada Indonesia akan menerima alokasi secara majemuk sinkron kondisi dan ciri masing-masing.

Dana desa harus juga ditujukan bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa, bukan untuk kepentingan eksklusif, keluarga juga gerombolan . Hal ini akan menjawab kekhawatiran munculnya moral hazard baru bagi para penyelenggara pemerintahan di level desa.

Solusi Urbanisasi

Berdasarkan UU, kegiatan pembangunan dan pemerataan antar desa, akan dilakukan melalui skema penataan desa. Penataan desa ini nantinya akan ditujukan buat mempercepat peningkatan kesejahteraan warga , kualitas pelayanan publik, rapikan kelola pemerintahan yg baik (good governance) sekaligus meningkatkan daya saing desa. Upaya tadi akan difasilitasi melalui berbagai kemungkinan melakukan penghapusan desa, pembentukan desa, penggabungan desa, perubahan status desa & penyesuaian kelurahan.

Dengan menggunakan asumsi data jumlah desa tahun 2014 sebanyak 72.944 desa, maka tiap-tiap desa diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan kondisi yang terdapat waktu ini, penambahan alokasi dana tadi tentu sangat menggembirakan. Berbagai dilema yang melingkupi desa selama ini, dibutuhkan dapat diatasi secepatnya, khususnya terkait dengan konflik kesenjangan yang terjadi baik antar desa maupun antara desa dengan kota. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin jika prosedur ini dijadikan galat satu solusi bagi upaya mengatasi duduk perkara urbanisasi di beberapa kota akbar, khususnya DKI Jakarta.

Urbanisasi paska Lebaran tahun 2014 ini misalnya. Menurut hitungan Bank Indonesia (BI), perputaran uang ke desa sepanjang Ramadhan hingga Lebaran (Juni - Agustus) 2014 saja sanggup menembus angka Rp115 triliun. Perputaran uang tadi semakin tinggi hampir 14,9% dibandingkan tahun lalu yang menyentuh kisaran Rp103,dua triliun. Hingga April 2014, jumlah uang beredar (JUB) pada masyarakat tercatat Rp886,6 triliun dan terus semakin tinggi hingga Rp906,7 triliun di medio bulan Mei 2014. Masih berdasarkan data BI, distribusi ?Uang Lebaran? Tadi secara umum dikuasai berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok & Bekasi (Jabodetabek) ad interim sisanya mengalir ke wilayah tujuan mudik.

Fenomena urbanisasi sebetulnya terjadi dampak besarnya tingkat kesenjangan antara desa & kota. Berdasarkan data BPS, porsi 20% penduduk menggunakan pendapatan tertinggi di Indonesia terus meningkat, ad interim 40% penduduk pendapatan menengah dan rendah cenderung fluktuatif. Dilihat berdasarkan nilai Indeks Gini, terlihat peningkatan signifikan berdasarkan 0,33 tahun 2002, sebagai 0,37 tahun 2009. Berbagai fakta tersebut tentu mendukung premis kesenjangan yg terjadi.

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di desa sampai tahun 2002, sudah mencapai 25,1 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota mencapai 13,3 juta penduduk. Tahun 2006, jumlah penduduk miskin desa mencapai 24,81 juta jiwa, sementara di kota mencapai 14,49 juta jiwa. Data terakhir BPS tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 18,94 juta jiwa, sedangkan di kota mencapai 10,95 juta jiwa.

Dengan kondisi kemiskinan desa mencapai hampir dua kali lipat penduduk kota, tidak heran bila penduduk desa akan terus melihat kota sebagai asa perubahan. Untungnya, semenjak Lebaran tahun 2013 kemudian, kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam mengelola urbanisasi mengakibatkan hasil. Jumlah pendatang baru yang masuk di tahun 2013 tercatat hanya sebesar 31 ribu jiwa, dimana 20 ribu diantaranya beredar pada berbagai wilayah penyangga Jakarta. Fakta ini tentu harus diapresiasi, mengingat begitu masifnya tindakan pencegahan yang dilakukan baik, melalui himbauan kepada rakyat buat nir mengajak sanak saudaranya datang ke Jakarta, maupun banyak sekali sosialisasi, pemasangan spanduk & pamflet/brosur yang berisi kerasnya kehidupan di ibu kota.

Pesatnya pertumbuhan wilayah-wilayah di pinggiran Jakarta seperti Depok, Bogor & Bekasi pula turut andil, lantaran pada mata kaum pendatang, pilihan target perbaikan hayati sebagai lebih bervariasi. Tingginya taraf pertumbuhan penduduk Depok & Bekasi, mencapai tiga%, memperkuat argumentasi tersebut, apabila dibandingkan contohnya menggunakan taraf pertumbuhan penduduk Jakarta yang hanya 1,tiga%.

Karenanya, bagaimana mengelola urbanisasi secara lebih bijak sebetulnya dapat disinergikan dengan tujuan pengalokasian Dana Desa, melalui pendekatan kependudukan atau kewilayahan. Pendekatan kependudukan tentu terkait menggunakan subyek menurut urbanisasi itu sendiri yaitu penduduk atau masyarakatnya. Urbanisasi hanya akan dipercaya negatif waktu penduduk yang tiba adalah penduduk yg nir terampil (unskilled) dan nir berpendidikan (uneducated).

Sebagai subyek, penduduk wajib dibina & ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu sebagai mesin penggerak pembangunan. Keadaan dan syarat kependudukan yg ada, akan sangat mempengaruhi dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yg akbar, apabila diikuti menggunakan kualitas penduduk yg memadai, akan menjadi pendorong primer pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang akbar tetapi kualitasnya kurang memadai justru akan sebagai beban pembangunan. Dana Desa dapat dijadikan penggerak primer (prime mover) bagi pembangunan sekolah, badan diklat maupun balai latihan kerja.

Sementara pendekatan kewilayahan, terkait menggunakan upaya pengurangan tingkat ketimpangan antar wilayah melalui penyebaran arus investasi di seluruh daerah secara lebih merata. Ketika tingkat pertumbuhan ekonomi Depok, Bogor dan Bekasi nir menarik pada mata kaum pendatang, berbagai bentuk pelarangan masuk kota Jakarta nir akan membuahkan hasil yg efektif. Sebaliknya, tanpa tidak boleh sekalipun, jika pertumbuhan ekonomi Depok, Bekasi dan Bogor bersaing menggunakan pertumbuhan ekonomi Jakarta, maka kaum pendatang akan berpikir ulang untuk masuk ke Jakarta.

Keseluruhan pendekatan tadi akan optimal jika didukung alokasi Dana Desa yang tepat target. Dengan aturan yg semakin tinggi, desa memiliki potensi membuatkan kualitas & kesejahteraan warga desa sekaligus memajukan pembangunan desanya. Masyarakat desa yg berkualitas tentu menjadi input yg berguna baik bagi desa itu sendiri maupun bagi daerah lainnya waktu terjadi pola urbanisasi. Sementara, desa yg maju, akan menaruh banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya, tanpa perlu berpindah ke kota.

Ke depannya, proses inilah yang harus kita ciptakan bersama. Jangan sampai pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pengalokasian dana desa, tetapi pada gilirannya, tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa justru masih jalan pada tempat. Jika ini yg terjadi, pola urbanisasi yang berdampak negatif pun akan terus terpelihara, misalnya telah jatuh tertimpa tangga.

Oleh Joko Tri Haryanto, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Sumber: www.kemenkeu.go.id

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan perilaku instansi dimana penulis bekerja

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2