MANAJER ASET MASUK DESA

Era pemerintahan Presiden Jokowi telah merealisasikan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. UU yang digagas dalam era presiden sebelumnya ini merupakan upaya baru yg menggeser kerangka berpikir pembangunan yg ada selama ini. Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah & desa pada kerangka negara kesatuan merupakan salah satu suara gagasan Nawa Cita.

Propinsi Aceh termasuk 3 akbar propinsi yg memiliki jumlah desa terbanyak di Indonesia. Dari total 74.093 desa pada seluruh Indonesia, propinsi yang memiliki desa terbanyak berturut-turut merupakan Propinsi Jawa Tengah dengan 7.809 desa, selanjutnya propinsi Jawa Timur dengan 7.723 desa diikuti propinsi Aceh dengan 6.474 desa. Hal ini tentu membawa pengaruh dalam besaran alokasi yg diterima oleh propinsi Aceh terkait menggunakan dana desa ini. Tentu dengan alokasi Rp. 1.707,8 Miliar Aceh pula sebagai penerima alokasi dana terbesar ketiga setelah Jawa Tengah dengan alokasi Rp. Dua.228, 9 Miliar, Jawa Timur yang menerima alokasi Rp. 2.214 Miliar.

Propinsi Aceh yg mengelola 18 Kabupaten & 5 kota. Dari 23 kabupaten/kota tersebut yang mempunyai jumlah desa terbanyak adalah Kabupaten Aceh Utara menggunakan ibukota Lhoksukon dengan jumlah 852 desa atau gampong, diikuti dengan Kabupaten Pidie (Sigli) dengan jumlah 727 desa dan selanjutnya Kabupaten Bireun (Bireun) dengan jumlah 609 desa (BPS, 2014).

Dengan dana yg demikian besar , apakah perangkat desa siap mengelola dana yang sudah/akan mereka terima? Yang tidak kalah penting, bagaimana mengelola aset yg dibeli dari dana desa?

ASET DARI DANA DESA

Setelah lahirnya UU mengenai Desa maka buat segera mengimplementasikan acara ini pemerintah sentra menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 2014 dan PP Nomor 60 Tahun 2014 mengenai Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Peraturan Pemerintah ini adalah petunjuk pelaksanaan yang bisa digunakan oleh pemerintah buat melaksakan UU tentang Desa. Tetapi PP Nomor 60 ini pada implementasinya dirasakan mengakibatkan ketimpangan, sehingga pemerintah sentra merespon dengan menerbitkan PP Nomor 22 tahun 2015 menjadi revisinya.

Menurut PP 43 tersebut pada atas aset desa merupakan barang milik Desa yang dari berdasarkan kekayaan orisinil Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan & Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yg sah. Lebih lanjut pada pasal 107 PP ini disebutkan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa dimulai berdasarkan perencanaan sampai dengan supervisi dan pengendalian. Hal ini menjadi penting lantaran jumlah dana desa buat propinsi Aceh yg besarnya hampir Rp. Dua Triliun di atas berpotensi menjadi aset yg besar . Jika aset desa tadi nir dikelola dengan optimal, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi menurut desa misalnya yang dibutuhkan nir mungkin terjadi. Selain itu, dana desa seharusnya dipakai buat membeli aset produktif (Ahmad Erani Yustika, Kompas 11/8/2015) yg berupa huma atau aset permanen berupa tanah maupun (barang) kapital yaitu aset tetap berupa gedung bangunan, alat-alat & mesin & lain-lain.

Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa siklus pengelolaan kekayaan desa dimulai semenjak perencanaan hingga pengawasan dan pengendalian, maka absolut diharapkan organisasi ekonomi desa. Organisasi ini termasuk diantaranya adalah struktur pengelolaan aset desa.

Yang perlu digarisbawahi, pada pasal pasal 90 PP Nomor 43, desa bisa mendapat dana APBN melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hal ini tentu sebagai potensi dilema tersendiri mengingat selama ini dana dan dekonsentrasi dilaksanakan pada pemerintahan setingkat propinsi sedangkan tugas pembantuan di pemerintahan setingkat bupati atau walikota. Berbeda dengan aset menurut dana desa, aset yg berasal dari dana dekonsentrasi & tugas pembantuan merupakan aset pemerintah sentra. Sepanjang belum dihibahkan oleh pemerintah sentra ke pemerintahan wilayah/des maka aset ini masih tercatat pada kementerian/lembaga yg menyalurkannya. Maka desa wajib mempersiapkan asal daya insan yg nir hanya bisa mengelola aset desa itu sendiri melainkan jua aset pemerintah pusat.

Dana dekonsentrasi umumnya dipakai untuk kegiatan-kegiatan non fisik, seperti training, pengenalan, peningkatan kapasitas dan semacamnya. Sedangkan buat alokasi dana tugas pembantuan umumnya dipakai buat kegiatan-kegiatan yg bersifat fisik. Kedua jenis dana ini dapat dialokasikan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi atau sang Kementerian Dalam Negeri. Akselerasi & peningkatan kapasitas aparatur desa dapat memakai dana dekonsetrasi ini. Pemerintah desa wajib mampu memakai kesempatan ini untuk menciptakan desa menggunakan cara partisipatoris (melibatkan semua masyarakat desa) dan emansipatoris (nir hanya melibatkan kaum laki-laki melainkan juga perempuan ).

Saling Berbagi Pengalaman

Tentu bukan perkara gampang bagi Propinsi Aceh buat mengelola desa atau gampong menjadi seperti yg dibutuhkan dari UU desa ini. Tetapi demikian tuntutan agar desa atau gampong bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakatnya telah sebagai kewajiban yang nir dapat ditunda-tunda lagi. Ada baiknya pemerintahan propinsi Aceh juga propinsi lain di Indonesia merogoh pelajaran berdasarkan desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta. Desa ini dianggap bisa menterjemahkan hasrat pemerintah sentra dalam menciptakan desa yang didambakan.

Desa Panggungharjo mempunyai inovasi-inovasi yang diinisiasi oleh pemerintah desa seperti melakukan kerjasama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) buat mewujudkan akuntabilitas & transparansi keuangan, bekerjasama menggunakan Kantor Arsip Kabupaten Bantul dalam penerbitan koran desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa pada bidang pengelolaan sampah, hingga mengakibatkan kampung mereka kampung dolanan (main) anak yang melestarikan permainan-permainan tradisional (Media Keuangan, Juni 2015).

Apabila pemerintah propinsi Aceh & propinsi-propinsi lainnya mau, bukan hal sulit buat dapat melakukan studi banding ke desa ini. Hasil dari studi banding bisa disebarkan kepada 23 kabupaten/kota di propinsi Aceh. Pun demikian 23 kabupaten/kota tadi bisa pula berbagi ilmunya kepada 6.474 desa yg terdapat.

Peran Kita buat Desa

Siklus pengelolaan aset desa sangat familiar dan dipahami oleh para pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dimana pun berada dan berkarya. Dalam kaitannya dengan aset negara desa sanggup belajar menurut pengelolaan aset yang selama ini dilaksanakan oleh DJKN Kementerian Keuangan ataupun pengelolaan aset daerah dalam hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Dalam peningkatan kemampuan mengelola aset, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara & Lelang (KPKNL) dapat dijadikan rujukan atau tempat konsultasi dan menimba ilmu manajemen aset di daerah-wilayah. Dengan istilah lain, terdapat potensi tambahan stakeholder bagi 70 KPKNL dan 17 kantor daerah DJKN pada semua Indonesia.

Meminjam kata acara yg dahulu sangat terkenal dalam jamannya, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri & Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dapat menginisiasi acara manajer aset masuk desa atau yang homogen. Program ini kiranya harus terintegrasi, efektif dan berbasis teknologi fakta dan telekomunikasi modern. Apabila hal ini dapat terealisasi, maka desa menjadi kontributor bagi pertumbuhan ekonomi nasional bukan hanya sekedar tentang.

Penulis : Acep Hadinata

Kepala KPKNL Banda Aceh

Sumber: DJKN

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2