Konflik Tambang dan Manfaat Dana Desa
Untuk kesekian kalinya, masyarakat balik menjadi korban yang dipicu adanya perseteruan pertambangan dan masyarakat. Layaknya cerita klasik, aparat desa yang selayaknya sebagai pengayom rakyat, justru diduga sebagai beking utama perusahaan tambang. Meskipun dievaluasi sangat terlambat, terkuaknya peristiwa tadi lalu menghasilkan reaksi dari poly pihak sampai akhirnya lokasi tambang tersebut ditutup sang pihak yang berwajib. Kondisi ini mungkin hanya sebagai sepenggal kisah menurut aneka macam kejadian serupa yang marak terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia & luput berdasarkan perhatian nasional. Terlebih di era otonomi, saat hak dominasi izin pertambangan terdapat di tangan Kepala Daerah, konflik-perseteruan pada aneka macam dimensi kerap terjadi dengan dalih menyejahterakan warga desa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2014 mengenai Pemda, kewenangan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yg semula terdapat pada tangan Bupati & Walikota, akan dialihkan ke Pemerintah Pusat & Provinsi. Secara rinci, kewenangan Provinsi antara lain: menerbitkan WIUP mineral non-logam dan batuan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam & batubara, IUP mineral non-logam & batuan dan tetapkan harga patokan mineral non-logam dan batuan.
Sementara kewenangan Pemerintah Pusat antara lain: tetapkan daerah tambang (WP) yg terdiri menurut usaha pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), menetapkan WIUP mineral logam dan batubara dan WIUPK, tetapkan WIUP mineral non-logam lintas provinsi, menerbitkan IUP penanaman modal asing, tetapkan IUPK, penetapan produksi mineral logam dan batubara buat tiap provinsi, menetapkan harga patokan mineral logam dan harga patokan batubara serta pengelolaan inspektur tambang.
Rencana tadi sontak ditanggapi secara majemuk oleh Bupati & Walikota. Secara umum mereka berkeberatan menggunakan ketentuan tadi dan mengupayakan dalam prosesnya, mereka tetap dilibatkan. Hal ini cukup masuk akal mengingat telah menjadi misteri umum jika banyak Bupati dan Walikota menikmati manfaat berdasarkan wewenang penetapan WIUP tadi, meski nir berkorelasi menggunakan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
Tumpang Tindih
Persoalan menjadi makin akut, waktu draft regulasi tadi ternyata belum diselaraskan menggunakan peraturan teknis di sektor pertambangan sendiri khususnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam UU Minerba, kewenangan penatapan WIUP justru masih ada pada tangan Bupati dan Walikota. Di satu sisi, warta akan menjadi pintu masuk bagi Bupati & Walikota buat mengajukan somasi secara hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di sisi lainnya, kenyataan ini balik mempertontonkan masalah klasik di tubuh pemerintah terkait kurangnya koordinasi dalam penyusunan regulasi pada masing-masing sektor. Tumpang tindih pada sektor pertambangan sebetulnya bukan hanya terjadi kali ini & hanya sebagai contoh berdasarkan sekian masalah akbar lainnya. Tahun 2013, penulis mencatat terjadi tumpang tindih pada hal penetapan tarif pungutan pertambangan pada Provinsi NAD. Sebagai keterangan, dari kedap paripurna DPR Aceh lepas 27 Desember 2013, telah disahkan Qanun pungutan tambang di Provinsi NAD sebesar dua,5%-6%.
Dengan berlakunya regulasi tersebut, perusahaan-perusahaan tambang harus membayar pungutan pada Pemda, sinkron jenis tambang yg dikelolanya. Untuk batubara, kompensasi yg wajib dibayarkan berkisar dua,5%-6,6% tergantung menurut kalori & harga jual per ton. Jenis alumina, tarif yang dikenakan tiga,4% dari harga jual, aluminium (3,4%), bauksit (4,0%), bijih besi (tiga,4%), pasir besi (4,0%), sponge iron/pig iron (3,00%), emas (4,0%), ferronickel (4,dua%), perak (tiga,6%), tembaga (4,2%), timah (tiga,4%) & zirkonium (tiga,0%).
Kebijakan tersebut sontak disambut berbagai keberatan, khususnya berdasarkan kalangan pengusaha. Mereka memandang Qanun tadi justru mengakibatkan prosedur pajak berganda sekaligus menambah beban pungutan. Ditambah dengan pungutan pelabuhan, royalti & beberapa jenis tarif lainnya, pada kalkulasi mereka setoran yg wajib diberikan mencapai 12% menurut harga jual. Kondisi ini tentu sangat disesalkan serta berpotensi menurunkan minat investor khususnya pada sektor pertambangan. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) segera merespon syarat tadi. Awalnya direncanakan akan dibentuk tim koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku pembina Pemerintah Daerah buat mendiskusikan ulang kelayakan pungutan pertambangan tadi dari segala aspek.
Berdasarkan pengamatan penulis, pihak yang pro dengan kebijakan tadi mendasarkan kepada Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keistimewaan kepada Provinsi NAD menurut pertimbangan karakter spesial sejarah usaha masyarakat Aceh yg memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 pasal 7 ayat 1 bab IV Kewenangan Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota memang disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh & kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan pada semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang sebagai wewenang Pemerintah yang terdiri berdasarkan urusan politik nasional, pertahanan keamanan, yustisi, moneter & fiskal nasional dan urusan eksklusif dalam bidang keagamaan.
Pasal 16 ayat 1 pula menyebutkan urusan wajib yg menjadi wewenang pemerintahan Aceh, ad interim dalam ayat dua nya diatur tentang urusan harus lainnya yang merupakan keistimewaan Aceh antara lain penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk aplikasi syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh menggunakan permanen menjaga kerukunan hayati beragama, penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam, penyelenggaraan pendidikan yg berkualitas dan menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam, peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh dan penyelenggaraan pengelolaan ibadah haji sinkron peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya pihak yang kontra, mengajukan pertimbangan UU Nomor 28 tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009 tersebut, istilah pungutan wilayah telah nir dikenal. Pemerintah hanya boleh mengenakan pungutan dalam bentuk pajak atau retribusi wilayah. Hal tadi telah dijelaskan pada btg tubuh UU Nomor 28 tahun 2009, baik di level provinsi juga kabupaten/kota. Sistem ini kemudian dikenal menjadi prosedur close list menurut UU Pajak Daerah & Retribusi Daerah.
Beberapa pajak yg sebagai kewenangan provinsi antara lain Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBBKB), pajak air bagian atas & pajak rokok. Sementara pajak yang dipungut kabupaten/kota diantaranya pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, reklame, penjelasan jalan, parkir, PBB perdesaan & perkotaan dan pajak air tanah. Selain pajak dan retribusi yg telah ditetapkan pada regulasi ini, wilayah dilarang menerbitkan berbagai pungutan.
Dengan dialokasikannya Dana Desa mulai tahun 2014, potensi pertarungan tersebut sebetulnya dapat diminimalkan saat desa menjadi lebih sejahtera. Desa yang sejahtera, tentu akan menjadi barrier terbesar masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan. Desa yang sejahtera justru akan bisa menciptakan kemandirian rakyat dalam aneka macam aspek khususnya aspek pelestarian alam dan lingkungan demi menjaga kearifan lokal yg beredar pada hampir seluruh wilayah penjuru Indonesia. Syarat utama tentu efektivitas dan efisiensi pada pengalokasian Dana Desa.
Karenanya, ketika pemerintah benar -betul mempunyai tujuan melestarikan lingkungan dan alam demi terciptanya pembangunan yg berkelanjutan sekaligus meredakan berbagai bentuk pertarungan pertambangan & warga yang kerap terjadi, prosedur primer yg dapat dipakai merupakan perbaikan aspek transparansi & akuntabilitas alokasi Dana Desa. Dan hal tadi bisa diciptakan menggunakan dukungan seluruh komponen anak bangsa yg memiliki perasaan yang sama : Satu Indonesia.
Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)
*)Tulisan ini merupakan pendapat langsung penulis & bukan merupakan sikap instansi dimana penulis bekerja. (sumber: setkab.Go.Id)