MK: Leasing Tidak Bisa Asal Tarik Kendaraan Jaminan Fidusia! Harus Lewat Pengadilan Negeri!

Perusahaan leasing nir sanggup lagi dari tarik kendaraan jaminan fidusia, tetapi wajib lewat pengadilan negeri.

mk leasing tidak bisa asal tarik kendaraan jaminan kredit

Hal ini terkait menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi yg mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Suri Agung Prabowo dan Aprilliani Dewi.

Penggugat yang pula merupakan pasangan suami istri menggugat Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

MK dalam putusan nya bernomor: 18/ PUU-XVII/ 2019 itu, menyatakan bahwa pihak kreditur atau leasing nir lagi mampu secara sepihak menarik objek jaminan fidusia.

Baca: Apa itu Leasing? Anggapan dan Praktek yang Salah tentang Leasing di Masyarakat

MK: Leasing Tidak Bisa Asal Tarik Kendaraan - Harus Lewat Pengadilan Negeri

Atau dalam hal ini biasa disebut menggunakan hukuman jaminan fidusia.

Artinya pihak leasing tidak bisa lagi mengeksekusi atau menarik tunggangan sebagai objek agunan fidusia secara sepihak, tetapi harus melalui mengajukan permohonan pada pengadilan negeri.

Dalam putusan tadi, objek jaminan fidusia tadi tidak hanya menyangkut tunggangan saja, tetapi juga berupa rumah, yang hanya berdasar sertifikat jaminan fidusia.

Putusan MK tersebut mengharuskan pihak kreditur atau leasing yang ingin menarik atau mengeksekusi kendaraan pihak debitur harus mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.

Walaupun MK sudah menetapkan bahwa buat mengeksekusi objek jaminan fidusia haruslah melalui pengadilan negeri, akan namun eksekusi sepihak sang kreditur (leasing) masih mampu dilakukan, sebatas jika debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan objek agunan fidusianya tadi.

Adapun bunyi putusan MK yg menyebutkan pihak leasing masih sanggup melakukan penarikan secara sepihak tadi merupakan menjadi berikut:

"Sepanjang debitur telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan benda yg menjadi objek pada perjanjian fidusia, maka sebagai wewenang sepenuhnya bagi kreditur buat bisa melakukan hukuman sendiri."

Baca: Prosedur Eksekusi Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia

Selanjutnya, dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo pada hari Senin 6 Januari 2020, menyatakan bahwa:

"Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, pada mana pemberi debitur nir mengakui adanya wanprestasi & keberatan buat menyerahkan secara sukarela benda yg sebagai objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditur tidak boleh melakukan hukuman sendiri melainkan harus mengajukan permohonan aplikasi eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas debitur dan kreditur terlindungi secara seimbang," lanjutnya.

Menurut Suhartoyo, keputusan ini didasari sang nir adanya proteksi hukum yg seimbang antara debitur menggunakan kreditur.

Selain itu Suhartoyo juga menyebut bahwa kreditur memiliki hak eksklusif dalam menarik objek jaminan fidusia tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk membela diri.

Bahkan menurut Majelis Hakim MK, sering para kreditur ini menarik objek jaminan fidusia secara sewenang-wenang & kurang 'manusiawi', baik berupa ancaman fisik juga psikis.

Hal itu juga yg dialami oleh pemohon pada gugatan ini Pasal 15 ayat (2) dan ayat (tiga) UU Jaminan Fidusia pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan sang pasangan suami istri Suri Agung Prabowo dan Aprilliani Dewi tersebut.

Pemohon pasangan suami isteri tersebut mengajukan somasi lantaran mereka mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Tahun 2004.

Pengambilan secara sepihak dan paksa tadi dilakukan oleh pihak kreditur (leasing) PT Astra Sedaya Finance (PT ASF).

Padahal berdasarkan pemohon, mereka sudah membayar angsuran kredit mobil tadi secara taat semenjak 18 November 2016 sampai 18 Juli 2017 sinkron perjanjian.

Akan tetapi, pada tanggal 10 November 2017, pihak kreditur atau leasing - PT ASF mengirim perwakilan mereka buat mengambil secara paksa tunggangan tersebut dengan alasan pasangan suami istri tadi telah wanprestasi atau ingkar janji.

Mendapatkan perlakuan seperti itu dari pihak leasing, para pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan leasing (PT ASF).

Akan tetapi, surat pengaduan yang pula berisi tentang perlakuan nir menyenangkan berdasarkan perwakilan yang dikirim sang pihak PT ASF itu nir diindahkan apalagi ditanggapi oleh pihak PT ASF.

Akan hal itu, para pemohon mengambil langkah hukum menggunakan mengajukan gugatan kasus ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 24 April 2018 menggunakan somasi perdata PMH atau perbuatan melawan hukum.

Atas gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Jakarta Selatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan pemohon, yang  menyatakan bahwa PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Namun dalam 11 Januari 2018, PT ASF balik menarik paksa tunggangan pemohon.

Atas penarikan secara paksa kedua kalinya tersebut, pemohon menilai pihak leasing PT ASF sudah berlindung di balik pasal 15 ayat (2) & (tiga) UU Jaminan Fidusia yg berbunyi sebagai berikut:

UU Nomor 42 tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia

Pasal 15 ayat (2) :

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum permanen.

Pasal 15 ayat (3) :

Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia memiliki hak buat menjual Benda yang sebagai objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Untuk melindungi debitur-debitur lainnya dari kejadian yang sama, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma Pasal 15 ayat (2), khususnya frasa/ kata "kekuatan eksekutorial" dan 'sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "terhadap jaminan fidusia" yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap'.

Baca: Kendala dan Permasalahan Eksekusi Jaminan Fidusia

Sementara itu buat Pasal 15 ayat (tiga) khusus frasa/ kata 'cidera janji' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak sang kreditur melainkan atas dasar konvensi antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yg menentukan telah terjadinya cidera janji'.

Sehingga atas putusa MK tersebut diatas, maka apabila pihak debitur merasa tidak melakukan wanprestasi atau ingkar janji dan tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, tidak dapat dieksekusi oleh pihak debitur atau leasing secara sepihak, apalagi secara paksa dan dengan ancaman baik fisik atau psikis.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2