Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Uraian singkat berikut adalah penjelasan historis adanya landasan hukum perbankan syariah di Indonesia. Untuk diketahui bahwa, bank syariah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983.
Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga termasuk nol persen (perniagaan bunga sekaligus). Sungguhpun demikian kesempatan ini belum termanfaatkan dengan baik karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank baru.
Kondisi diatas berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti setelah disahkannya UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1992 Tentang Bank Bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usaha tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” (pasal 6) maka jalan bagi operasional perbankan syariah semakin luas.
Saat ini, titik kulminasi landasan hukum perbankan syariah telah tercapai dengan disahkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sistem syariah.
- Pendirian kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru, atau
- Pengubahan kantor cabang atau di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.