Desa Adat vs Gampong

ISTILAH Desa Adat terutama di Jawa dan Bali secara empirical telah lama dikenal. Saat ini kata tadi diadopsi menjadi terminologi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 mengenai Desa (UUDes). Sejauh pengetahuan saya, sebelumnya nir terdapat peraturan yang setingkat UU mengatur atau mengadopsi kata Desa Adat. Penggunaan istilah desa mengingatkan kita pada penerapan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa.

Ketika itu, seluruh struktur pemerintahan pada level birokrasi terendah negara berubah namanya sebagai Desa, RT, RW atau kelurahan model struktur pemerintahan di Jawa. Dalam bahasa yg relatif diperhalus bisa dikatakan seluruh struktur pemerintah paling bawah waktu itu wajib mengikuti contoh struktur yang diterapkan di tanah Jawa. Akibatnya, struktur desa menggunakan yang mempunyai nama dan model yang berbeda-beda yg masih hidup dan berkembang pada setiap wilayah, dan telah berlangsung secara turun temurun, tatanannya menjadi rusak.

Dalam konteks keindonesiaan, menghadirkan kembali kata desa memperlihatkan masih ada impian penghasil UU negara ini buat meunifikasikan (menyatukan) dan meuniformitikan (menyeragamkan) pulang kata tersebut agar dapat diresepsi sang seluruh perangkat level birokrasi terendah secara perlahan-huma. Penyeragaman ini bertambah nyata, jika alokasi donasi dana Desa yg digagas UUDes contohnya, mensyaratkan desa penerima merupakan atas nama desa, nir boleh nama selain nama desa.

Dapat dibayangkan, jika hal itu benar-sahih diterapkan, maka pada ketika yg nir terlalu lama , saya menganggap 20 tahun ke depan, seluruh kata ?Nama lain? Selain nama desa di Indonesia akan kembali berubah nama dan statusnya sebagai nama menggunakan nomenklatur desa. Sebenarnya, sikap ini bukanlah pesimistis, apriori ataupun antipati, tetapi lebih pada perilaku hati-hati dan mungkin pula traumatis menurut dampak penerapan UU No.5 Tahun 1974 pada masa kemudian.

Hakikat UUDes baru

Pada hakikatnya, UUDes yang baru ini dapat dikatakan sudah memenuhi perasaan warga , setidaknya setengah menurut perasaan masyarakat norma. Ini karena UUDes selain mendapat nomenklatur desa (desa istiadat), pula mendapat istilah ?Nama lain?. Yang berarti bahwa, selain kata desa dan desa istiadat, UUDes juga membenarkan & mempertahankan istilah seperti nomenklatur gampong bagi Aceh, atau nama lain yg mempunyai karakteristik-karakteristik Zelfbesturende landschappen (daerah yg mempunyai pemerintahan sendiri) dan Volksgemeenschappen (komplotan warga ) untuk wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dalam hal ini, UUDes sudah menyelami maksud Pasal 18B (dua) Undang-Undang Dasar 1945, yakni: ?Negara mengakui & menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tata cara sepanjang masih hidup & dipertahankan...?

Dalam penjelasan generik UUDes, juga jelas menjabarkan maksud desa tata cara atau istilah ?Nama lain? Yang dimaksudkan UUDes. Misalnya nama lain buat desa seperti nagari pada Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta/nagori pada Sumatera Utara, gampong di Aceh, tiuhatau pekon pada Lampung, lembang pada Toraja, banuadan wanua pada Kalimantan, & negeri di Maluku, dan kurang lebih 250 jenis nama lainnya pada Indonesia. Ini sebenarnya memperlihatkan bahwa UUDes menyadari betul bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri berdasarkan rakyat yang multikultur.

Filosofi bangsa Indonesia yang terdapat pada Bhinneka Tunggal Ika (walaupun bhineka tetapi tetap satu pula), secara defacto mencerminkan bahwa negara Indonesia merupakan warga yang multikultur. Hal itu karena Indonesia terdiri menurut aneka macam suku, bangsa, kaum, tata cara & budaya (Prof Inyoman Nurjaya, 2014). Sebagai masyarakat yg multikultur, pembangunan sistem hukum pada Indonesia tidak dapat hanya diletakkan berasaskan kepada sah positivist (aturan positif) semata. Akan tetapi pula harus sedaya upaya mengembalikan ruh pembangunan aturan berasaskan pada filosofi-filosofi dan kebiasaan yg hayati & berkembangan di tengah-tengah rakyat.

Ini penting karena, tujuan aturan bukan hanya mencapai kepastian semata, tetapi dalam masa yg sama juga harus memiliki rasa keadilan & kemanfaatan. Perasaan seperti ini perlu terus didorong agar hukum yg lahir yang mengatur kehidupan rakyat bukanlah bentuk keinginan penghasil hukum, namun jauh daripada itu yaitu harapan rakyat pada bisnis mencapai ketertiban, ketenangan & kesatuan rakyat pada mana aturan itu nantinya akan diterapkan.

Berangkat menurut pemikiran pada atas, aku meyakini kehadiran UUDes sudah berpihak kepada warga paling dasar pada struktur bernegara, yakni masyarakat desa. Meskipun jua disadaribahwa, masih masih ada sejumlah kelemahan UU tersebut. Tetapi yang istimewa berdasarkan UUDes itu, merupakan selain mengatur tentang Desa menjadi salah satu struktur birokrasi pemerintahan, juga mengakui Desa Adat dan nama lain yg seumpanya. Apa sebenarnya desa adat, dan bagaimana kedudukan gampong pada Aceh selesainya UUDes lahir?

Pasal 1 ayat 1 UUDes menjelaskan, yg dimaksud menggunakan desa merupakan ?Desa dan Desa Adat atau yg disebut dengan nama lain, selanjutnya dianggap Desa, adalah kesatuan masyarakat aturan yang memiliki batas daerah yg berwenang untuk mengatur & mengurus urusan pemerintahan, kepentingan warga setempat dari prakarsa warga , hak berasal usul, &/atau hak tradisional yg diakui & dihormati pada sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.?

Ketentuan ini perlu diberikan fokus, bahwa selain desa, UUDes juga mengakui keberadaan desa adat atau nama lain yg bisa dianggap sebagai desa. Tetapi yg unik dalam pasal-pasal lain UUDes memberi kesempatan kepada masyarakat buat memprakarsai perubahan status desa istiadat menjadi desa atau kelurahan. Dalam bahasa saya, UUDes memberi peluang kepada desa tata cara, apakah perlu dipertahankan, digabungkan, dipisahkan, dihapuskan atau dijadikan sebagai desa ?Birokrasi?. Pilihan tadi sangat tergantung dalam prakarsa rakyat Desa norma itu sendiri.

Peluang ini seolah memberi gambaran pada kita bahwa desa adat dalam waktu eksklusif nantinya akan dileburkan dan dijadikan seluruhnya menjadi desa ?Birokrasi? Yang wewenang utamanya hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah, pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota. Apabila sudah berubah statusnya sebagai desa birokrasi/dibirokrasikan, maka tugas desa tadi layaknya misalnya ketua kantor yg memiliki garis tanggung jawab antara atasan dan bawahan. Bila asumsi ini terjadi, maka seumpanya wewenang desa istiadat yg sebelumnya dapat menuntaskan sengketa masyarakat tanpa campur tangan pemerintah, mustahil akan terjadi lagi. Dalam konteks Aceh, mungkinkah gampong pula akan ?Dibirokarasikan??

Gampong di Aceh

Jika ditilik secara cermat UUDes, maka gampong pada Aceh tidak mungkin ?Dibirokrasikan? Secara total misalnya desa birokrasi. Ini karena, dalam ketentuan khusus bagian penjelasan generik UUDes secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wilayah dalam memutuskan kebijakan tentang pengaturan desa pada samping memperhatikan ketentuan pada UUDes, pula harus memperhatikan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Ketentuan ini melegakan Aceh, karena produsen UU pada sentra masih tetap memberikan perhatian besar pada rangka menyinkronkan UU yang terdapat. Jadi, kita tidak perlu meributkan istilah desa, desa adat atau nomenklatur lain, sebab UUPA telah kentara menerima istilah gampong menjadi struktur terendah pemerintahan. Tugas gampong pun, selain sebagai perpanjangan tangan pemerintah pada rangka menyukseskan program pemerintah, dalam masa yang sama pula mempunyai wewenang menuntaskan konkurensi masyarakat (semacam peradilan adat).

Ketentuan ini telah dijabarkan ke pada qanun-qanun berkaitan dengan istiadat pada Aceh. Sejatinya bagi Aceh UU ini makin memperkuat posisi gampong sebagai desa norma dengan hak-hak tradisionalnya. Persoalan alokasi donasi dana pemerintah pada setiap desa yang juga akan dialokasikan pada gampong pada Aceh nir dapat diartikan sebagai suatu error of institution (kesalahan institusi), lantaran seyogianya UUDes terbukti menerima nomenklatur gampong sebagaimana diatur pada UUPA. Wallahu a?Lam.

Dr. Teuku Muttaqin Mansur, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: t_muttaqien@yahoo.com (Sumber: Serambi Indonesia)

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2