Desa: Masa Depan Indonesia

Setahun belakangan info terkait pembangunan desa terus menjadi pembicaraan publik. Ada asa besar terhadap desa buat menjadi motor kemajuan negeri ini.

Segendang sepenarian, harapan warga itu pula sama menggunakan asa Menteri Desa Marwan Jafar yang sangat optimistis desa semakin penting peranannya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sang menteri meyakinkan publik bahwa desa merupakan asa dan masa depan Indonesia.

Belum usang ini, Marwan menginisiasi penyelenggaraan Festival Desa Membangun Indonesia (FDMI) pada Jakarta, yang memberikan arti krusial bagi kita buat memandang desa secara substansial. Dalam festival yang menghadirkan 3 ribu ketua desa itu, Menteri Desa mempertegas komitmen memperkuat desa menggunakan menjadikannya mandiri dan sejahtera.

Supradesa bisa sebagai fasilitator tumbuhnya kemandirian & kesejahteraan itu. Lantaran itu, setali 3 uang menggunakan hal tersebut, Marwan meletakkan desa menjadi subjek dalam konstelasi pembangunan. Posisi ini begitu strategis bagi desa agar perekonomian dari taraf bawah beranjak aktif sehingga secara gradual dapat mendongkrak perekonomian Indonesia.

Sebelumnya, pada Global Saemaul Leadership Forum yang diadakan di Korea Selatan bulan kemudian, Marwan juga menegaskan desa memiliki asal daya hayati berlimpah yg mampu menopang ketahanan pangan dan tenaga. Komoditas lokal desa merupakan sumber bahan baku primer pada industri pengolahan kuliner & mampu diolah sebagai energi baru ramah lingkungan.

Masalahnya, pertanian & perkebunan yg terdapat memang belum tergarap menggunakan aporisma. Maka menggunakan peran dan desa saat ini menjadi subjek atau pelaku primer pembangunan desa, implementasi ketahanan pangan dan tenaga kini bisa didorong berdasarkan bawah. Harus diakui, selama ini pemerataan pembangunan yang hanya bersandar pada daerah pusat/ kota sudah menyebabkan eksistensi desa terus terpinggirkan.

Model pembangunan trickledown effect yang berporos dalam industrialisasi substitusi impor dengan mengabaikan sektor pertanian perdesaan menyebabkan hal itu terjadi. Namun, peran menurut perundangan yang berlaku pula nir bisa diabaikan. Lihat saja UU No 5 Tahun 1979 (UU Pemerintahan Desa) yg secara terperinci-terangan tidak menaruh wewenang desa berdasarkan segi politik dan ekonomi.

Model yang diterapkan buat semua desa pada luar Jawa adalah contoh ?Homogenisasi?. Harapan yang kandas itu lalu sebagai optimisme baru bagi warga setelah disahkannya UU No 22 Tahun 1999. Keheterogenan, otonomi, & demokrasi lebih dikedepankan sehingga mencerminkan spirit UUD 1945.

Tapi amat disayangkan, kemajuan yg sudah dicapai itu pulang mengalami kemunduran beberapa tahun kemudian: UU No 32/2004 menempatkan desa di bawah bayang-bayang jaring supradesa. Tetapi berkat kehadiran UU No 6 Tahun 2014, posisi desa yg sebelumnya mengalami subordinasi dan pengebirian dari berbagai sisi kemudian berbalik ke arah yang lebih baik. Tahun ini adalah masa transisi yg dilewati menggunakan gegap gempita sang segenap rakyat. Maka sanggup dipastikan masa depan Indonesia terkait erat dengan kemajuan ekonomi 74.093 desa.

Ketahanan Pangan

Dengan melihat peluang yg ada, hari depan kini ada pada tangan desa. Saat ini adalah saat bagi desa buat membuatkan potensinya, terutama meningkatkan angka kecukupan pangan. Perbaikan & penyempurnaan sektor pertanian dan stabilitas harga berdasarkan tingkat produsen hingga konsumen wajib terus ditingkatkan supaya tercapai kemandirian pada tingkat lokal dan nasional.

Memang dalam satu pihak desa berperan memenuhi kebutuhan sumber baku produksi utama atau pengolahan ringan yang diperlukan warga kota. Sebaliknya, daerah perkotaan adalah sentra pengembangan dan peningkatan jasa dan industri pengolahan tersier. Sejatinya, kota dan desa dapat bekerja sama karena memiliki keunggulan masingmasing.

Untuk mencapai simbiosis mutualisme misalnya itu, desa seharusnya mampu menyediakan kebutuhan primer bagi kota terlebih dahulu. Namun, ironisnya, kebutuhan utama yang sentral itu justru mengalami tren penurunan, yakni hanya 23% desa yang tercukupi kebutuhannya (BPS, 2015).

Padahal, sektor pertanian Indonesia menyumbang 14% dalam produk domestik bruto dan penyumbang terbesar ke 2 sehabis industri pengolahan. Sebagai tempat penghasil pangan nasional, desa harus memenuhi kebutuhan pangan kota. Namun, pada saat yang bersamaan itu, desa jua harus memenuhi kebutuhan pangan dirinya sendiri.

Energi Terbarukan

Di samping ketahanan pangan, energi terbarukan (renewable energy ), yang sekarang di poly negara mulai dirintis penggunaannya, menjadi isu terbaru pada era globalisasi. Indonesia sebagai produsen energi fosil yg terbesar memang belum memanfaatkan secara maksimal energi terbarukan.

Pada 2013, 94,3% total kebutuhan energi nasional ditopang tenaga fosil sebesar 1.357 barel minyak, sedangkan sisanya 5,7% dipenuhi berdasarkan energi terbarukan. Dari penggunaan tenaga fosil, 33% dipakai buat sektor industri, 27% rumah tangga, transportasi 27%, dan komersial serta lainnya 10%.

Secara keseluruhan dalam 2015 ini, yg tidak berbeda menurut 2013, penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia mencapai 94% menurut total konsumsi energi nasional. Sesungguhnya desa adalah produsen terbesar bahan baku tenaga terbarukan tadi. Hanya, selama ini pemanfaatannya cenderung terabaikan.

Tetapi jika kita menyentuh sektor riil soal pemanfaatan, energi cara lain yg berasal menurut desa atau produk lokal desa itu akan memberikan pengaruh positif jangka panjang bagi bangsa ini. Sebab, pada lima dekade (1970-2020) disinyalir angka pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai enam kali lipat. Namun, sebaliknya, jumlah penduduk pedesaan menurun tiga kali lipat.

Pembengkakan jumlah penduduk tentu secara tidak pribadi akan bertimbal pulang terhadap penggunaan energi fosil. Karena itu pula, pendayagunaan energi fosil mau tak mau wajib dibatasi. Minyak bumi nir bisa didaur ulang, tapi minyak sawit bisa diproses menjadi biofuel , singkong/tebu diubah sebagai etanol, tebu jadi metanol, danlain-lain. Semuaenergi alternatif itu berasal dari kawasan pedesaan, bukan perkotaan.

Misalnya, buat biofuel yangberbahan bakusingkongpalingbanyakterdapat di lokasi Pacitan, Wonosari, Wonogiri, Garut, Cianjur, Boven Digul. Sementara pada Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa sebagai loka yang cocok buat menanam tebu.

Kapabilitas SDM

Langkah nasional berupa percepatan pembangunan desa, dengan demikian, perlu segera dilakukan. Kemudian, persepsi yg menganggap desa sebagai lokasi tak layak kerja atau tidak layak pendapatan wajib segera diubah. Kalau nir, stigma itu mampu menjadi stempel bahwa desa bukanlah aset perekonomian yang memberikan kesejahteraan. Ini jua yg mengakibatkan setiap tahun jumlah perpindahan rakyat berdasarkan desa ke kota kian tinggi.

Urbanisasi seakan jadi penyelamat mengatasi masalah perekonomian desa. Dalam lembaga Rembug Nasional Desa (RND) yang merupakan galat satu agenda dalam FDMI dirumuskan solusi bagi pembangunan desa berkelanjutan. Beberapa di antara output konsensus forum itu menyangkut soal pembaruan agraria dan tata ruang, pembangunan berlandaskan ekologi, peningkatan partisipatif rakyat, pemberdayaan bagi warga miskin dan kaum disabilitas.

Berikutnya, yg harus dicatat, pelaksanaan UU Desa oleh pemerintah & pemerintah desa melalui penegakan, pengakuan, dan proteksi hak-hak istiadat. Isu gender jua disebut pada output mufakat tersebut, yakni hadiah akses perempuan terhadap pengolahan asal daya alam.

Selain itu, peningkatan pelayanan publik & sistem liputan desa menjadi kebutuhan masyarakat desa yang harus dipenuhi sang pemerintah. Sebelumnya, pada peluncuran Indeks Desa Membangun (IDM) dalam Oktober lalu, Marwan Jafar juga telah meluncurkan program unggulan buat meningkatkan kecepatan pembangunan desa.

Salah satunya adalah program Jaring Komunitas Desa yg berupaya menguatkan kapabilitas insan menjadi inti, sekaligus subjek pembangunan. Penguatan kapabilitas itu mengedepankan pendekatan yg bersandar pada sektor sosial, ekonomi, & ekologi tanpa meninggalkan sektor politik, budaya, sejarah, dan kearifan lokal.

Pada akhirnya, peningkatan kualitas insan adalah pijakan utama dalam pemberdayaan. Kita memahami bahwa SDM pada desa umumnya kurang memadai sehingga perlu diciptakan partisipasi, pengetahuan, dan keterampilan yg cakap. Dengan kata lain, modalitas manusia yang berkualitas tadi termasuk esensi dari UU Desa.

Kemajuan dan kemandirian desa ke depan dipengaruhi faktor keberadaan warga desa melalui kualitas hayati & etos (weltanschauung ) pada lingkungan masing-masing. Kita pun meyakini bahwa desa beserta kelimpahan alamnya akan menjadi lumbung perekonomian rakyat sekaligus lokus masa depan Indonesia.

PRIMA YULIA NUGRAHA

Pemerhati Kebijakan Publik

Sumber: koran-sindo.Com

Gambar ilustrasi

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2