Pendamping Desa sebagai Orang Luar
Kisruh pendampingan desa mengelompok pada 2 masalah.
Pertama, sesudah menabur puluhan ribu konsultan pendamping acara pemberdayaan 1998-2014, kini diunduh tuntutan kelanjutan lowongan kerja pendampingan.
Kedua, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, & Transmigrasi bersikeras menyediakan satu pendamping per desa guna menertibkan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai Desa. Meskipun di lapangan kedua pihak berhadapan demi kepentingan personalia, konsep yg diusung sama-sama menempatkan pendamping menjadi "orang dalam" pengaturan desa.
Kini ditemukan akar perkara pendampingan, yaitu justru orang desa ditempatkan sebagai "orang luardanquot; berdasarkan pagar kebijakan desa. Mengayun antagonis berdasarkan proyek pemberdayaan dasa warsa sebelumnya, bisa dipahami ketiadaan pasal pendampingan dalam UU Desa.
Tetapi, berbagai anggaran & desain implementasinya mengembalikan kiprah pendamping sebagai penjaga kebijakan pemerintah pusat di lapangan. Posisi itu menyeret pendamping jadi "orang dalamdanquot; bagi acara pemerintah. Ini yang membuka paras orisinil implementasi secara top down meski berbedak acara pemberdayaan atau kebijakan desa membentuk.
Pemberdayaan berbasis keputusan warga (community-driven development/CDD) kreasi Bank Dunia ini dimulai dengan membangun pagarnegatives list, buah khuldi yang haram dipilih desa. Berprasangka desa kebablasan, dulu program pemberdayaan antara lain melarang rehabilitasi bangunan pemerintahan. Larangan ini diulang pada Permendesa 21/2015 buat penggunaan dana desa 2016.
Berlanggam partisipasi, pendamping mencipta konsep halus buat kontrol, yaitu pengondisian. Musyawarah desa dikondisikan sehingga hasilnya sesuai anggaran apabila perlu memutuskan proyek infrastruktur yg gampang dikontrol.
Gampang bagi pendamping mengondisikan desa lantaran program pemberdayaan dalam masa kemudian mengharamkan kiprah pemerintah desa. Kekosongan pucuk hierarki desa akhirnya ditempati pendamping. Apalagi, menjadi "orang dalam", pendamping dinilai berkuasa menjadi wakil pemilik dana pemberdayaan.
Saat ini, pendamping ganti mewakili pemerintah pusat pada mengarahkan dana desa. Efektivitas pendampingan masih dinilai berdasarkan ketepatan pelaksanaan di desa menggunakan aturan pemerintah pusat.
Meniru program pemberdayaan, standardisasi dituliskan menjadi petunjuk teknis operasional. Mengulang sejarah, kontrol atas penerapan standardisasi ditegaskan melalui birokrasi pendampingan. Gunanya, mengganjar & menghukum pendamping secara terukur dari tingkat sentra, provinsi, kabupaten, & desa.
Mungkin pilihan pendampingan "orang dalamdanquot; ala CDD dahulu tidak sepenuhnya orisinalitas pemerintah. Sebab, Bank Dunia mengaku menyeragamkan 110 negara pengutang. Dalam 10 tahun terakhir saja berputar 28 miliar dollar AS (kurang lebih Rp 364 biliun) dalam lebih dari 600 proyek pemberdayaan.
Sayang, impian pemerintah menempatkan satu pendamping buat satu desa periode 2015-2019 mengulang praktik pendamping menjadi "orang dalam" guna mengetatkan operasionalisasi UU Desa. Target rekrutmen berlebih 84.000 pendamping bagi 74.754 desa niscaya mewujud hierarki pendampingan taraf pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
Arah "orang luar"
Desakan ribuan pendamping supaya terus direkrut sudah menerbitkan pertanyaan orang desa, "Kalau pendamping sendiri tidak berdikari, bagaimana mampu memandirikan desa?" Menyarikan praktik bertahun-tahun, Budi Baik Siregar menemukan desa-desa mandiri bergerak bersama pendamping menjadi "orang luar". Orang desa sendiri sebagai subyek pengelola penataan sampai pembangunan, maka berposisi sebagai "orang dalamdanquot;.
Saat mempraktikkannya dalam Program Inpres Desa Tertinggal, Sajogyo & Mubyarto mengingatkan prasyaratnya, yaitu memercayai aparat & masyarakat desa. Termasuk, menghargai semua keputusan mereka pada musyawarah desa. Sekaligus menghilangkan negatives list, sebagai residu indikasi kecurigaan pada desa.
Menganut posisi pendamping sebagai "orang luar", kemandirian justru diindikasikan lepasnya kebutuhan desa terhadap pendamping. Maka, pendampingan senantiasa bersifat insidental, yaitu ketika desa membutuhkan, maka akan menggunakannya. Apalagi, UU Desa menjadi tugas rutin bagi pemerintahan desa, bukan proyek ad hoc berdasarkan pihak luar desa.
Konsekuensinya, jumlah pendamping tak perlu sebesar desain pemerintah, apalagi membayar birokrasi pendampingan. APBN dapat dihemat hingga Rp 15 triliun sampai 2019. Dana desa Rp 600 juta dalam 2016 cukup untuk membayar pendamping. Sebagai perbandingan, rata-rata biaya pendamping acara pemberdayaan Rp 68 juta setahun.
Agar pendamping selalu siap mendapat panggilan desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat di kabupaten bisa berinisiatif menyediakan energi fungsional pendamping. Hal itu termasuk menguatkan kiprah pendampingan dalam aparat kecamatan.
Oleh: Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Kompas Cetak, 29 Maret 2016