9 Titik Kritis dalam Perencanaan Desa
Perencanaan desa pasca dua tahun ditepatkannya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dalam banyak kasus masih belum menemukan frame yang selaras dengan harapan warga desa. Pemerintah desa dan BPD selaku pemegang mandat regulasi hanya terfokus pada pengelolaan keuangan desa semata.
Tahapan perencanaan desa yg harusnya menjadi pijakan pertama malah nir menerima ruang yg memadai.
Berikut beberapa titik kritis & hambatan dalam Tahap Perencanaan Desa ini antara lain:
1. Perumusan Program Kerja Desa Kering Data Kerawanan Desa
Data adalah warta objektif mengenai suatu keterangan baik dalam bentuk kuantitatif, kualitatif juga gambar visual yg diperoleh baik melalui observasi langsung juga berdasarkan yang sudah terkumpul pada bentuk cetakan atau perangkat penyimpan lainnya40. Hal ini berarti data yang diperoleh haruslah berupa informasi bukan output manipulasi ataupun rekayasa. Dengan memiliki basis data & fakta yang valid & terukur, maka proses perencanaan pembangunan yg baik & komprehensif akan menjadi titik krusial untuk berhasilnya pembangunan di desa.
Persoalannya masih poly desa yang belum memiliki sistem informasi desa yg baik. Hal ini mengakibatkan perencanaan desa tidak didasarkan pada data dan kabar-fakkta terkait kerawanan desa yg memotret kondisi sosial ekonomi desa. Padahal data kerawanan desa ini sangat diharapkan untuk merumuskan RKPDesa yang sanggup menjawab kasus sosial yg terdapat pada desa. Akibatnya perumusan RKPDesa acap kali mengabaikan kabar-keterangan kerawanan desa yang membutuhkan penangan primer. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bila banyak RKPDesa yg sebatas mengejar penyerapan anggaran desa tanpa menargetkan capaian yang konkrit. Seperti berapa gerombolan rumah tangga miskin yg akan mendapat manfaat berdasarkan suatu aktivitas. Akibatnya, realisasi RPJMDesa mapun RKPDesa tidak bisa ditinjau capaian target yang sanggup diukur ketika pembangunan sedang dan selesai dilaksanakan. Absurditas capaian kinerja pembangunan desa menyulitkan proses monitoring dan penilaian menggunakan pengukuran yang jelas.
Problem ini muncul karena desa tidak memandang penting proses Pengkajian Keadaan Desa (PKD) pada proses perencanaan. PKD sebagai tahapan pada menemukenali kasus, potensi dan validasi data sosial desa jarang dilakukan desa sebelum merumuskan program kerja. Tanpa adanya PKD, tentu desa nir akan mengetahui apa saja aset desa yg dapat dioptimalkan, berapa jumlah RTM yg ada di desa, siapa saja mereka, berapa beban tanggungan mereka dan lain-lain. Pada akhirnya, pada ketika desa nir sanggup mendefinisikan dilema & sumber kekuatan mereka sendiri, maka perencanaan pembangunan desa hanya akan menyasar ruang hampa semata. Karena itu, pengkajian keadaan desa absolut diperlukan & suatu keharusan bagi setiap desa yg ingin menggapai kemandirian.
Pemerintah Nasional sudah mengantisipasi fenomena tentang ketiadaan data yang memadai di desa buat penyusunan perencanaan. Dalam UU No. 6 tahun 2014 telah diamanahkan agar setiap desa menciptakan sistem keterangan desa. Sistem informasi ini mencakup data potensi & kerawanan desa yang mencerminkan kondisi desa. Desa secara berdikari sebenarnya dapat menciptakan sistem keterangan desa ini dengan memakai pendekatan ABCD. Ketika penetaan aset desa menggunakan melibatkan seluruh unsur masyarakat desa. Kemudian desa jua bisa mengajukan bantuan teknis menurut pemerintah diatasnya kecamatan/kabupaten buat difasilitasi buat membangun sistem kabar dan data desa. Sebab dalam UU Desa diamanahkan Pemerintah berkewajiban menaruh dukungan pada desa dalam membentuk sistem warta desa yg baik.
Baca: Perencanaan Desa yang Baik Jantung Kemandirian Desa.
2. Penggiringan Perencanaan Desa Hanya dalam Kegiatan Infrastruktur
Beberapa fenomena kasus sosial desa berdasarkan perspektif pihak luar desa yang bersinggungan langsung menggunakan kelompok perempuan & masyarakat miskin merupakan menjadi berikut: 1. Kelangkaan pangan & kelaparan, ketiadaan permukiman yg memadai, lingkungan yg nir sehat, kerentanan atas penyakit dan kesulitan memperoleh pengobatan; 2. Kurangnya pengetahuan dan buta huruf, ketidak-mampuan mengemukakan pendapat & menyuarakan kepentingan, 3. Ketiadaan lapangan kerja & penghasilan yg mencukupi, pengangguran yg diliputi kecemasan akan masa depan diri dan keluarga; 4. Kematian bayi & mak hamil yg kurang gizi & sakit akibat lingkungan yg tidak sehat, kelangkaan air bersih maupun pelayanan kesehatan, menurunnya asa hayati, atau 5. Praktek politik uang dan ketidakmampuan rakyat desa melakukan tawar-menawar dalam memperjuangkan hak personal dan sosial demi kepentingan-kepentingan dan perwujudan kebebasannya.
Sayangnya, rakyat desa seakan mengalami ketidakberdayaan buat menyuarakan masalahnya dalam forum perencanaan desa. Pada forum perencanaan,warga seringkali mudah digiring buat menyepakati kegiatan infrastruktur. Padahal terkadang kegiatan tersebut secara langsung tidak memberi manfaat bagi masyarakat miskin & grup rentan. Meskipun situasi sebagaimana digambarkan sang pihak luar desa nampak nyata, namun perencanaan desa selalu didominasi usulan aktivitas infrastruktur. Pemerintah desa bahkan berani jelas-terangan menabrak aturan seperti menggunakan dana desa buat pembangunan tempat kerja desa atau bahkan gapura.
Kegiatan-kegiatan non fisik yg menawarkan penguatan pakasitas ketrampilan berbasis sumberdaya lokal sporadis sekali ditemukan. Kegiatan yang mendahulukan kepentingan Desa yg lebih mendesak, lebih diperlukan & menjawab pribadi problem kerawanan desa pula sulit terwujud. Kegiatan yg mengarah pada peningkatkan kesejahteraan rakyat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan jua tidak banyak diminati desa. Syarat ini lahir lantaran forum perencanaan sengaja digiring buat menyepakati kegiatan infrastrktur sang oknum elit desa. Apakah pilihan pembangunan berbasis fisik memang karena lebih nampak, mudah dikerjakan dan mudah dimarkup secara koruptif? Tentu butuh kajian mendalam. Yang jelas dua tahun pasca berjalannya UU Desa yang ditandai dengan kucuran dana desa, masalah kosupsi dana desa oleh oknum-oknum elit desa, semakin tinggi drastis.
Penting untuk menekan intervensi elit desa dalam prioritas usulan, maka kelompok kritis yang ada dimasyarakat harus didorong untuk hadir dan mendinamisir setiap forum perencanaan sejak ditingkat dusun hingga desa. Dimasing-masing kelompok yang ada, harus dimunculkan kader oleh masyarakat itu sendiri yang berperan menjaga forum partisipatif berjalan dengan baik. Fasilitator forum publik yang handal sangat dibutuhkan untuk memastikan agar Musrenbang benar-benar menjadi forum yang deliberatif.
3. Pilihan Waktu Forum Perencanaan Terlalu Kaku
Warga desa yang tidakberdaya seringkali dipahami sebagai bersikap apatis. Warga miskin, perempuan kepala keluarga, warga difabel, masyarakat terasing dipandang sebagai pihak-pihak yang tidak menyumbang apapun bagi kemajuan desanya. Dampaknya, selain kecilnya kesempatan untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan desa, mereka juga memilih menggunakan waktunya untuk bekerja dan melakukan akfititas penghidupan. Forum-forum yan dilaksanakan pada jam-jam kerja sangat sulit menghadirkan kelompok perempuan dan RTM. Karena itu penting sekali pelaksana musdes mempertimbangkan waktu penyelenggaraan secara fleksibel. Jika malam hari dirasa menjadi saat yang paling efektif meningkatkan partisipasi warga, maka pilihan itu baik ditempuh.
4. Reduksi Perencanaan Pembangunan Desa Sebatas Dokumen Administratif
UU Desa semakin menegaskan pentingnya dokumen perencanaan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Saking pentingnya, dokumen RPJMDesa & RKPDesa bahkan menjadi prasyarat penyaluran dana desa. Sayangnya dalam praktiknya, dokumen perencanaan desa tadi disusun tanpa melalui proses yg memadai. Misalnya RPJMDesa disusun tanpa proses pengkajian keadaan desa yang melibatkan masyarakat ditingkat dusun, RT dan grup warga . RKPDesa disusun tanpa didahului aplikasi Musdes Perencanaan yg diselenggarakan oleh BPD.
Asal dokumen RPJMDesa maupun RKPDesa ada dan lengkap secara administratif, maka perencanaan desa dianggap sudah dilaksanakan. Jika desa bisa menunjukkan dokumen perencanaan desa saat dilakukan pemeriksaan dari SKPD maupun Tim Asistensi, maka desa sudah dianggap memenuhi asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tanpa perlu mempertanyakan prosesnya bagaimana.
Sebagai pemimpin masyarakat, ketua desa harus banyak berdialog dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk grup perempuan ,RTM & gerombolan yg rentan. Mereka niscaya mempunyai aspirasi (kepentingan) secara majemuk, yang selama ini nir tersentuh oleh masyarakat. Demikian juga dengan BPD, yang harus berakibat musyawarah desa menjadi arena bagi warga desa buat menyampaikan aspirasi politik. Baik kepala desa maupun BPD itu harus memformulasikan kebijakan baru yg timbul dari aspirasi poly komponen warga ke dalam perencanaan desa, penganggaran desa dan peraturan desa.
5. Apatisme Warga Dalam Forum Perencanaan.
Setiap warga desa memiliki ranah aktivitas sosial & politik. Berdasarkan kategori ini ada empat tipe warga . Tipe konstituen, yaitu masyarakat desa yg hanya aktif dalam waktu momentum politik di desa, tetapi tidak aktif pada kegiatan sosial kemasyarakatan.
Tipe relawan, yaitu rakyat desa yg hanya menentukan dan aktif dalam kegiatan sosial. Tipe masyarakat kritis, yaitu mereka yang selalu kritis bersuara terhadap kebijakan pemerintah desa, namun tidak aktif dalam aktivitas sosial. Tipe ini umumnya disebut ?Asal bunyi? Yg nir disuakai oleh warga dan pemuka desa. Tipe rakyat aktif, yakni aktif pada bersuara dan aktif dalam kegiatan sosial41. UU Desa menghendaki tumbuhnya rakyat aktif dalam ranah desa ini.
Sayangnya tipe rakyat desa aktif ini justru paling mini , baik secara kuantitas juga kualitas. Akibatnya lembaga-forum perencanaan pembangunan desa tidak relatif mendapat loka dihati warga desa. Forum musdes acap kali nir mampu merepresentasikan gerombolan sosial yang terdapat pada desa, terlebih kelompok RTM. Orang miskin dan gerombolan wanita cenderung takut buat hadir & menyuarakan kepentingan kelompoknya dalam forum Musdes. Akibatnya, kebutuhan mereka selalu terlupakan dalam setiap pembahasan usulan kegiatan pada desa. Rata rata lembaga perencanaan desa hanya dihadiri oleh para pemuda desa.
Baca: Musyawarah Desa yang Ideal
6. Belum terdapat Kalender Perencanaan yg Disepakati Bersama
Perencanaan desa adalah aktivitas yang mempunyai siklus niscaya. RPJMDesa disusun sekali dalam periode kepemimpinan ketua desa, sedangkan RKPDesa disusun setiap tahun. Sebagai sebuah daur, perencanaan tahunan tentu merupakan pekerjaan rutin yang harus dilakukan desa menjadi keniscayaan. Tahap perencanaan mendasari termin penganggaran, & termin penganggaran mendahului tahap pelaksanaan.
Sayangnya sejauh ini, belum ada kelender perencanaan yg disepakati beserta sang desa & pihak-pihak yang memiliki tugas pelatihan desa. Pemerintah kabupaten homogen-homogen hanya terfokus pada aplikasi Musrenbang Desa.
Parahnya Musrenbang Desa yang diperhatikan daerah melalui SKPD Bappeda hanya untuk pekentingan perencanaan pembangunan daerah saja dimana waktu pelaksanaanya pun tidak mematuhi UU Desa. Musrenbang Desa ala Bappeda dilaksanakan pada bulan Januari, namun UU Desa menegaskan Musrenbang Desa dilaksanakan paling pambat pada bulan Juli yang menghasilkan RKPDesa.
Akibat belum terdapat kelender perencanaan, maka desa misalnya tidak menduga penting proses perencanaan yang berdasarkan regulasi dilaksanakan dalam waktu desa masih sibuk melaksanakan & mempertanggungjawabkan APBDesa tahun berjalan. Lantaran itu pada rangka pengendalian dan efektifikas perencanaan desa, perlu disepakati adanya kalender perencanaan desa yang menjelaskan forum-forum yg wajib dilaksanakan desa dalam rangka menyusun RKPDesa setiap tahunnya. Inisiasi ini bisa dimulai ditingkat desa, kecamatan dengan kiprah pendampingannya, hingga kabupaten melalui regulasi.
7. Stagnasi Edukasi Sosial Politik Dalam Pendampingan Perencanaan Desa
Setiap kegiatan desa khususnya musyawarah desa, perencanaan & penganggaran yg memperoleh sentuhan pendampingan, tak jarang terjebak pada penggunaan alat & membentuk dokumen semata tanpa terdapat sentuhan filosofis. Pendampingan terhadap semua kegiatan desa sporadis disertai menggunakan edukasi sosial dan politik secara inklusif & partisipatoris.
Proses perencanan desa tak jarang hanya berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan sebagai rencana proyek. Perencanaan desa belum dipahami menjadi pembelajaran bagi orang desa buat menciptakan impian kolektif & mandiri pada pengambilan keputusan politik. Demikian jua dengan Sistem Informasi Desa (SID) yg kaya data, pelaksanaan & disertai jaringan online. SID hanyalah alat & teknologi. SID yan merekam potensi & kerawanan desa belum sebagai pembelajaran bagi orang desa buat menciptakan kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus untuk memperkuat representasi hak dan kepentingan warga .
8. Defisit kepemimpinan dan Intervensi Elit Desa Dalam Perencanan
Kualitas kepeminpinan desa memilih kualitas perencanan desa. Pemimpin yg baik akan bisa merancang program kerja yg baik pula. Begitu juga sebaliknya, pola kepemimpinan kepala desa yg regresif & konserfatif akan membawa desa pada kehancuran. Kepemimpinan regresif, akan cenderung otokratis, dominatif, tidak suka BPD, tidak suka partisipasi, anti perubahan & biasa melakukan penyerobotan terhadap sumberdaya ekonomi, termasuk menyerobot donasi pemerintah42. Apabila desa dikuasai ketua desa misalnya ini maka perencanaan desa yg mengarah dalam harapan desa mandiri, demokratis dan sejahtera akan sulit terwujud.
Problem kepimimpinan desa diatas akan berujung pada hegemoni dalam perencanaan pembangunan desa. Apa yang menjadi planning kerja pemerintah desa murni lahir dari kepentingan elit desa, bukan berdasarkan aspirasi rakyat desa. Untuk menekan praktik kepemimpinan regresif ini, maka wajib diawali menggunakan penyadaran politik warga . Money politics dalam pilkades berpotensi memunculkan pemimpin regresif yang merugikan masyarakat desa itu sendiri. Kesadaran itulah yang harus mulai dibangun melalui ruang publik yg dalam forum perencanaan pada desa.
9. Kegagalan BPD Mengemban Mandat Demokrasi Desa
UU Desa sudah memberi mandat besar bagi BPD dalam pengemban peran demokrasi deliberatif di desa. Di sini prinsip-prinsip tatakelola demokratis wajib dikedepankan para pemangku kepentingan pada desa. Jika sebelumnya penyelenggaraan musyawarah desa menjadi domain pemerintah desa, maka UU Desa mengusung BPD sebagai aktor penyelenggara musyawarah desa.
UU Desa juga menggeser eksistensi kebijakan perencanaan desa tahunan (RKP Desa) yang semula cukup diatur melalui keputusan ketua desa, sekarang dikuatkan melalui peraturan desa. Ini merupakan, RKPDesa menjadi dokumen perencanaan desa satu-satunya harus dibahas dengan proses yang lebih partisipatif dan demokratis beserta BPD.
Demikian 9 Titik Kritis dalam Perencanaan Desa, Referensi Buku Mewujudkan Desa Inklusif (Perencanaan Penganggaran Partisipatif Pro dan Reponsif Gender). Donwlod Disni. Semoga bermanfaat.