Sejarah Ekonomi Islam Fase Kedua
Untuk sejarah ekonomi islam fase kedua , dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan Muslim di masa ini mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan Alquran dan hadits.
Pada ketika yg bersamaan, di sisi lain, mereka menghadapi realitas politik yang ditandai oleh 2 pandangan: pertama, disintegrasi sentra kekuasaan Bani Abbasiyah & terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yg lebih banyak didominasi didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak warga , ke 2, merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi menggunakan dekadensi moral di kalangan masyarakat yang menyebabkan terjadinya ketimpangan yg semakin melebar antara si kaya dengan si miskin.
Pada masa ini, wilayah kekuasaan Islam yang terbentang berdasarkan Maroko dan Spanyol di Barat hingga India pada Timur telah melahirkan banyak sekali pusat kegiatan intelektual. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Al-Ghazali (w.505 H/1111 M), Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M), Al-Syatibi (w. 790 H/1388 M), Ibnu Khaldun (w. 808 H/1404 M), dan Al-Maqrizi (w.845 H/1441 M). Tokoh fase ini merupakan Abu Hamid al-Ghazali (1055-1111 M) yg sangat banyak sumbangannya dalam ekonomi, sebagaimana terdapat pada kitabnya yg terkenal, Ihya Ulumuddin. Di antara isi kitab itu, al-Ghazali mendiskusikan mengenai kontribusi uang yang diklaim syarb (greatfullness to Allah), & perlunya uang pada pada perdagangan. Pada ketika itu, ekonomi konvensional belum mendiskusikan kasus-perkara ini. Jean Boudine baru membicarakannya dalam abad ke-15.
Selain itu, al-Ghazali juga telah mengemukakan konsep tentang motif holding, yang menampakan bahwa saat itu uang telah tersebar di warga . Sedangkan pemikiran mengenai uang menjadi baku nilai disampaikan oleh Rafiq al-Bisri setelah beliau membaca tulisan al-Ghazali. Kemudian yg juga penting menurut pemikiran al-Ghazali adalah peraturan penekanan tingkah laris muslim, ini berarti bahwa perkara-masalah yang bersifat konstitusional dalam saat itu sudah dikemukakan sang Abu Hamid al-Ghazali. Begitu pula dengan kondisi yangmemungkinkan, padahal waktu itu pada ekonomi konvensional sendiri belum ada diskusi mengenai konsep pertumbuhan ekonomi.44
Selanjutnya Abu Hasan al-Mawardi (1058 M), yg mengemukakan mengenai tugas pemerintah, yaitu tentang pelaksanaan, pengelolaan, dan administrasi pemerintah. Abu Hasan al-Mawardi menulis ways of subject including market supervision atau ishlah & agriculture. Sementara dalam waktu itu ekonomi konvensional belum membahas sistem pasar apalagi hegemoni pemerintah pada ekonomi (Al mawardi, 1978)
Pemikir sejarah ekonomi islam berikutnya adalah Abu Hasan bin Hazm (1064 M), seseorang tabib yang unik. Pemikirannya digolongkan menjadi istihsan. Salah satu pemikiran Abu Hasan yang paling menonjol merupakan mengenai tanggung jawab bersama dalam rakyat Islam dan perkara moral. Menurut beliau, sine qua non kerjasama dalam rakyat. Konsep kerjasama antarmasyarakat inilah yg lalu berkembang menjadi konsep bagi output. Kemudian Syamsuddin al-Syarahsi (1090 M), seorang jurist yang banyak mendiskusikan konsep-konsep mengenai sharing & profit. Selain itu, al-Syarahsi mengungkapkan pula mengenai konsep-konsep akuntansi.Berikutnya Nizamul Mulk at-Tusi (1018-1083 M), menggunakan konsepnya yg dikenal sebagai Tusi's Siyasat Nameh. Konsep at-Tusi ini sangat berbeda menggunakan konsep feodalisme Eropa yangsangat menonjolkan peran tuan tanah. Menurut pendapat at-Tusi, kiprah tuan tanah wajib dibatasi, sebaliknya kiprah aturan harus dimaksimalkan. Di pihak lain, ekonomi konvensional sendiri melahirkan teori yang mengungkapkan mengenai perlunya pertanian baru dalam masa Fisiocrat dalam abad ke-14, tiga abad sesudah keluarnya pandangan at-Tusi.
Kemudian Abu Bakar bin Mas'ud al-Kasani (1182 M) seorang jurist terkemuka yang menganalisa kasus ekonomi pada karyanya Badai'us Shanai'. La membahas menggunakan sangat jelas dan rinci mengenai pembagian laba dan kewajiban karena kerugian dalam mudharaboh. Konsep al-Kasani inilah yg sekarang banyak digunakan pada praktek mudharabah.Selanjutnya Abdurrahman bin Nasr al-Shairazi yg menyajikan karyanya, kitab Al-Muhtasib yg membahas mengenai tugas pengawas pasar. Pada masa itu, ekonomi konvensional belum tentang sistem prosedur pasar dan konsep intervensi pemerintah dalam ekonomi. Konsep al-Shairazi tentang pengawas pasar ini seperti dengan konsep yang dikemukakan Abu Hasan al-Mawardi. Perkembangan pemikiran ekonomi Islam fase berikutnya terjadi dalam rentang tahun 1292-1441. Sebagaimana diketahui bahwa agama Islam diturunkan Allah Swt melalui Rasul-Nya, Muhammad saw selesainya agama Nasrani (Kristen), tetapi peradaban Islam justru lahir lebih awal mendahului peradaban kristen. Bahkan ketika peradaban Islam mencapai masa keemasannya, dunia Eropa belum melahirkan apa-apa. Jadi, dapat dipahami apabila kemudian muncul dugaan bahwa sudah terjadi transformasi pemikiran-pemikiran para cendekiawan muslim sang cendekiawan Barat.46
Salah satu bukti yang menguatkan dugaan tersebut merupakan ditemukannya pemikiran Ibnul Qayyim (1292-1350 M) mengenai 2 jenis fungsi uang; yaitu menjadi indera tukar dan sebagai alat pengukur nilai. Menurut Ibnul Qayyim, jika uang hanya digunakan untuk menimbun nilai, maka akan terjadi kegoncangan. Perlu diketahui, saat itu sistem ekonomi konvensional sama sekali belum membahas hal ini. 47
Bukti lain yang dapat dikemukakan, asal dari pemikiran Najmuddin ar-Razi (1265 M), yg menduga pertanian menjadi utama menurut semua pencaharian rezeki. Menurut ar-Razi, terdapat 3 pelaku ekonomi utama dalam hal ini, yaitu tuan tanah, petani atau buruh tani, dan pemungut pajak. Dalam pandangan ar-Razi, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara sangat terkait dengan kiprah 3 unsur pelaku ekonomi ini. Jika 3 unsur ini terkelola secara baik, maka negara akan makmur. Sebaliknya bila terdapat defleksi?Baik berupa pemerasan dari tuan tanah ataupun pemungut pajak?Maka negara akan terancam kemelaratan.
Ada bukti lain sejarah ekonomi islam dari Nasiruddin at-Tusi 1201-1274 M yang menyatakan bahwa pungutan pajak diperbolehkan dengan syarat penggunaannya sesuai dengan syariah. Artinya, secara prinsip pemerintah tidak boleh sewenang-wenang memungut pajak, tetapi pungutan pajak diperbolehkan selama digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariah. Selain itu, at-Tusi juga berpandangan bahwa pertanian merupakan sektor dan sumber ekonomi yang utama. Oleh karena itu, Nasiruddin menyatakan Ummat Islam dilarang menimbun perhiasan atau hording. Terdapat pula pandangan at-Tusi yang lain tentang pengharaman tanah yang tidak dibudidayakan. Ini berarti bahwa jika terdapat tanah tidur, tanah itu dianggap haram dan pemerintah berhak untuk menyita tanah itu untuk kemudian diberikan kepada warga lain agar dibudidayakan. Pandangan ini didasarkan pada peristiwa yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra. Ketika itu ummat Islam menduduki Irak, orang-orang Quraisy membeli tanah Irak dalam jumlah banyak tetapi tidak dibudidayakan. Khalifah Umar bin Khatthab mendengar hal itu dan segera memerintahkan orang Quraisy untuk mengembalikan tanah yang sudah dibeli itu kepada warga Irak. Khalifah berpendapat, orang Quraisy adalah pedagang bukan petani, mereka tidak dapat membudidayakan tanah untuk pertanian.
Perintah Khalifah Umar ini dilaksanakan menggunakan penuh disiplin, sehingga orang-orang Arab yang masuk ke Irak saat itu tidak dibenarkan buat membeli tanah pertanian. Mereka diizinkan membeli tanah, hanya bila digunakan untuk loka tinggal atau toko. Sedangkan bagi yg sudah telanjur membeli namun bukan untuk dibudidayakan & bukan jua buat digunakan menjadi tempat tinggal atau toko, maka transaksi itu dengan dan merta wajib dibatalkan.
Selanjutnya : Fase Ketiga Sejarah Ekonomi Islam