Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Peradilan Pidana

Jaksa Penuntut Umum - Peradilan Pidana merupakan afiksasi dari kata adil, yang diartikan menjadi nir memihak, nir berat sebelah, atau pun keseimbangan dan secara keseluruhan peradilan pada hal ini.

Yaitu menerangkan kepada suatu proses yaitu proses buat membangun atau mewujudkan pada suatu proses yaitu proses buat menciptakan atau mewujudkan keadilan.

Adapun "pidana" yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi dan/ataupun penderitaan yang diberikan, yang dapat menggangu keberadaan fisik maupun psikis dari orang yang terkena pidana itu.

Jaksa Penuntut Umum

Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam Proses Peradilan Pidana

Pada asasnya proses peradilan pidana dilaksanakan berdasarkan atas hukum acara pidana yang notabene merupakan aturan formal beracara pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara pidana, telah menetapkan aturan-aturan yang mengatur tugas dan kewenangan komponen sistem peradilan pidana, yakni Penyidik, Penuntut Umum, Hakim pada semua tingkatan, Advokat, dan Petugas Rutan/ Lembaga Pemasyarakatan.

Adapun kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam proses peradilan pidana diatur pada Pasal 14 KUHAP yg merinci kewenangan Penuntut Umum diantaranya :

  • Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.
  • Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
  • Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
  • Membuat surat dakwaan.
  • Melimpahkan perkara ke pengadilan.
  • Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
  • Melakukan penuntutan.
  • Menutup perkara demi kepentingan hukum.
  • Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang ini.
  • Melaksanakan penetapan hakim.

Secara teknis, kewenangan tadi dilaksanakan sejak awal pemberkasan berdasarkan Penyidik. Persiapan berkas masalah itu adalah tanggung jawab penuh penyidik, agar berkepastian dapat diserahkan pada Jaksa Penuntut Umum & selanjutnya disidangkan pada pengadilan.

Proses demikian disebut menjadi termin prapenuntutan (Pratut), yakni persiapan sampai penyerahan semua berkas kasus, indera-indera bukti, & tersangka menurut pihak penyidik pada Jaksa Penuntut Umum, sebagai akibatnya sejak ketika itu beralih tanggung jawab hukum dari pihak penyidik pada Jaksa Penuntut Umum.

Mekanisme serah terima berkas itu meliputi termin-tahap yg terdiri atas:

Pertama, penyerahan berkas (KUHAP Pasal 8 ayat (2) dan (3))

Kedua, setelah selesai penyidikan (Pasal 110) dan pemberitahuan dari Jaksa Penuntut Umum bahwa berkas telah diterima dan dinyatakan lengkap atau tidak, selama dalam waktu 7 (tujuh) hari (Pasal 138).

Bila mana Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan berkas penyidikan belum lengkap buat diteruskan ke persidangan (dikenal dengan kata sandi: P-19), maka dalam waktu 7 (tujuh) hari itu wajib diberitahukan lagi kepada penyidik supaya dilengkapi dari pedoman & petunjuk JPU (Pasal 110 ayat (tiga) jo. 138 ayat (dua)).

Penyidik hanya mempunyai waktu 14 (empat belas) hari buat melengkapi lagi berkas itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan.

Dalam hal Jaksa Penuntut Umum mempertimbangkan berkas telah lengkap secara teknis yuridis (sandi: P-21) maka Jaksa Penuntut Umum segera memberitahukan supaya Penyidik menyerahkan berkas itu & segala tanggung jawab Penyidik beralih kepada Jaksa Penuntut Umum.

Bilamana tersangka pada keadaan ditahan, maka status penahanannya sebagai beralih pada penahanan atas tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum.

Dengan terjadinya serah terima Berita Acara Pemeriksaan, segala barang bukti & tersangka menurut pihak penyidik kepada Penuntut Umum, maka semenjak saat itu terjadi juga serah terima tanggung jawab penyidikan menggunakan segala akibatnya berdasarkan Penyidik kepada Penuntut Umum.

Lazimnya, setiap berkas kasus yang telah lengkap diserahkan oleh penyidik pada Jaksa Penuntut Umum, maka perkara itu harus ditteruskan oleh Jaksa Penuntut Umum supaya diperiksa & diadili oleh Hakim pada sidang Pengadilan.

Artinya, karena kondisi hukum sudah dipenuhi, maka semua orang yang terlibat dalam perkara itu wajib dihadapkan kepada Pengadilan.

Ini dikenal sebagai asas legalitas, maksudnya bahwa semua rakyat negara wajib diperlakukan sama pada depan aturan sehingga apapun alasan & siapa pun dia yang terlibat dalam kasus itu, supaya hukumlah yang memutuskan mengenai bagaimana kesalahan dan hukumannya di pada masalah itu.

Pada saat Jaksa mendapat kelengkapan berkas dari penyidik, maka kewenangan, tugas, dan kewajiban hukumnya pada tahap ini haruslah digunakan menggunakan masak-masak dan cermat buat mempertimbangkan segala sesuatunya, selain kondisi formal dan material yang sudah cukup dipenuhi untuk merumuskan surat dakwaan.

KUHAP Pasal 140 ayat (2) masih memberikan kemungkinan bagi Penuntut Umum untuk memutuskan dengan membuat surat penetapan, apakah dia akan menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.

Apa pun menurut kemungkinan menghentikan atau menutup kasus itu, yang diputuskan oleh Penuntut Umum wajib dibuat dengan surat ketetapan.

Selanjutnya, pemberitahuan atas surat ketetapan itu harus segera disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau Advokat, Penyidik, dan Hakim, selain tentu saja kepada Pejabat Rumah Tahanan bilamana tersangka ditahan agar dia segara dibebaskan.

Ketentuan Pasal 140 di atas menaruh pedoman bahwa masalah dapat dihentikan bilamana tidak terdapat cukup bukti.

Ini artinya, demi tegaknya hukum acara (law enforcement), sesuai dengan rujukan di dalam Pasal 191 ayat (1) bahwa suatu perkara yang tidak terdapat bukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak).

Perkara dihentikan karena bukan merupakan tindak pidana adalah sesuai dengan rujukan dalam Pasal 191 ayat (2), yang oleh karena itu terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Dua alasan hukum pertimbangan mengenai menghentikan penuntutan demi tegaknya hukum memprediksi putusan bebas dan tanggal merupakan dengan merujuk dalam ketentuan di pada KUHAP.

Pertimbangan lain tentang menutup demi hukum bukan lagi mengacu ke dalam KUHAP menjadi hukum formal, melainkan dirujuk ke pada KUHP menjadi aturan material.

Menutup perkara demi aturan adalah didasarkan pada adanya tiga (3) alasan demi hukum, yang terdiri atas:

  • Karena terdakwa sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP).
  • Perkara itu ne bis in idem karena tidak boleh dituntut dua kali tentang hal yang sama (Pasal 76 KUHP).
  • Perkara sudah daluwarsa (verjarigheid, verjaring) berdasarkan Pasal 78-82 dan seterusnya di KUHP.

Berdasarkan tugas & wewenang yang demikian, dapat dikatakan Kejaksaan berada dalam posisi sentral dengan peran strategis dalam proses peradilan pidana.

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat memilih karena adalah jembatan yg menghubungkan tahap penyidikan dengan termin inspeksi di sidang pengadilan.

Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru sanggup diadili jika terdapat tuntutan pidana berdasarkan Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang Pengadilan.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2