Putusan Pemidanaan (Veroordeling) - Sistematika Putusan Pemidanaan dalam KUHAP
Pada dasarnya putusan pemidanaan bisa dijatuhkan jika telah dipenuhinya kondisi objektif & subjektif yg terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.
Syarat-kondisi yang dimaksud menurut Adami Chazawi merupakan sebagai berikut:
- Syarat objektif, yaitu Hakim dalam memutuskan telah menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
- Syarat subjektif, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut, Hakim mendapatkan keyakinan bahwa: 1). Benar telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan); 2). Benar Terdakwa yang melakukannya; dan 3). Benar Terdakwa bersalah (dapat dipersalahkan).
Lebih lanjut Adami Chazawi mengungkapkan bahwa putusan Hakim "mempidana Terdakwadanquot; sesat bila melanggar kondisi-syarat yg ditentukan tersebut. Banyak kemungkinan yg dilanggar pengadilan, sebagai akibatnya menghasilkan putusan sesat. Penyebabnya dapat dikelompokkan sebagai dua, yaitu :
Pertama, sebab fakta-fakta/ peristiwa yang dibuktikan dalam sidang bukan kebenaran materiil (materiele waarheid), melainkan kejadian yang direkayasa, kemudian menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menarik amar putusan yang merugikan Terdakwa.
Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Kedua, dalam sidang sebenarnya terungkap kebenaran materiil melalui dua atau lebih alat bukti yang dipergunakan Hakim, namun karena berbagai sebab sengaja atau kelalaian, pertimbangan hukumnya menyimpang dari kebenaran materiil dan menghasilkan amar putusan yang merugikan Terdakwa.
Bilamana Majelis Hakim Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Pengadilan menjatuhkan pidana. Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dalam lingkup antara minimum dan maksimum dari pasal yang terbukti dalam persidangan (sebagaimana yang ditentukan oleh Pembuat Undang-undang). Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan Undang-undang.
Walaupun pembentuk Undang-undang memberikan kebebasan menemukan batas maksimal dan minimal lama pidana yang harus dijalani Terdakwa, hal ini bukan berarti Hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dengan putusan Hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 K/ Pid/ 1990 tanggal 30 Januari 1993. Memang para Hakim perlu menjelaskan mengenai kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan yang mana, yang telah dijadikan dasar bagi putusan mereka, tetapi di dalam putusan mereka tidak perlu dijelaskan secara lengkap mengenai cara berpikir mereka, yang telah membuat mereka sampai pada kesimpulan yang dijadikan dasar bagi putusan mereka.
Menurut Van Bemmelen, pada putusan Hakim perlu dijelaskan tentang alasan-alasan yg telah digunakan oleh Hakim sebelum sampai pada putusannya, sehingga orang yg membaca putusan tadi akan bisa mengetahui alasan-alasan yg sudah dipakai sang Hakim dan mampu buat menarik satu konklusi yg sama misalnya yang sudah diterik sang Hakim.
Untuk meruntutkan argumentasi dan dasar pertimbangan Hakim yg baik maka disusunlah sistematika putusan yang standar di dalam KUHAP. Sistematika ini terdapat dalam isi putusan pemidanaan. Terhadap isi surat putusan pemidanaan, KUHAP telah mengaturnya secara rinci sebagaimana suara Pasal 197 ayat (1) yaitu:
a. Kepala putusan dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" ;
b. Nama lengkap, loka lahir, umur atau lepas, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, kepercayaan & pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana masih ada dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yg disusun secara ringkas tentang berita & keadaan bersama alat-verifikasi yg diperoleh berdasarkan inspeksi pada sidang yg sebagai dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana masih ada pada surat tuntutan;
f. Pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan & pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum menurut putusan, disertai keadaan yang memberatkan & meringankan terdakwa;
g. Hari dan lepas diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali masalah diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi seluruh unsur pada rumusan tindak pidana disertai menggunakan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa porto masalah dibebankan menggunakan menyebutkan jumlahnya yg pasti & ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa semua surat ternyata palsu atau informasi dimana letaknya kepalsuan itu, apabila terdapat surat otentik dipercaya palsu;
k. Perintah agar terdakwa ditahan atau permanen pada tahanan atau dibebaskan;
l. Hari & tanggal putusan, nama penuntut generik, nama hakim yang tetapkan & nama panitera;
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, jika tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,i,j,k dan l dalam pasal ini (Pasal 197 ayat (1) KUHAP) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Misalnya saja tidak tercantum tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Jaksa/ Penuntut Umum maka putusan pengadilan tersebut batal demi hukum. Menurut kebiasaan praktik hanya disebutkan pokok-pokoknya saja tuntutan pidana dalam putusan. Apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan sama sekali "tuntutan pidana" maka berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP serta putusan Mahkamah Agung RI Nomor 885 K/ Pid/ 1985 tanggal 23 Juni 1987 adalah batal demi hukum.