PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA NASIONAL: ALAT BUKTI ELEKTRONIK

Pendahuluan

alat bukti elektronik

Tema Hari Ulang Tahun (HUT) Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2019 adalah “Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi untuk Melayani”, ini menandakan bahwa Mahkamah Agung selaku lembaga yudikatif di Indonesia paham dan mengerti sekali bahwa kemajuan teknologi informasi saat ini berkembang sangat pesat.

Kemajuan teknologi kabar sangatlah mensugesti segala sendi kehidupan, termasuk dibidang aturan dan peradilan.

Kemajuan teknologi informasi sanggup dilakukan buat melanggengkan kejahatan & kebalikannya, bisa membantu aparat penegak aturan buat mengungkap pelaku kejahatan.

Kejahatan dibidang teknologi keterangan & kejahatan yang berkaitan dengan pelaksanaan internet sang Barda Nawawi Arif dikenal kata tindak pidana mayantara.

Dalam arti lain kejahatan yang terjadi melalui atau terhadap jaringan komputer dalam dunia maya atau diluar jaringan namun menggunakan komputer atau handphone, kejahatan ini lazim dianggap cybercrime.

Di global maya, aparat penegak hukum akan mengalami hambatan terkait dengan verifikasi dan penegakan hukumnya, karena harus menerangkan sesuatu hanya sepertinya ada namun nyatanya tidak ada, & kebalikannya nyatanya nir terdapat namun terlihat terdapat. Alat buktinya merupakan informasi & atau dokumen elektronika.

Sebagaimana diatur pada Pasal 26A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyebutkan bahwa indera bukti yang sah pada bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (dua) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khusus buat tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yg diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan indera optik atau yang serupa menggunakan itu; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau warta yg bisa ditinjau, dibaca, dan atau didengar yg dapat dikeluarkan menggunakan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang pada atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yg terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, indikasi, nomor , atau perforasi yg mempunyai makna.

Pengaturan keberadaan indera bukti elektro diatur jua dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya antara lain, sebagaimana termuat didalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 mengenai Dokumen Perusahaan, Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai Undang-undang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan & Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta, tetapi pengaturan lebih spesifik diatur didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yg secara spesifik mengatur mengenai bukti elektro.

Dalam Pasal lima UU ITE, dikatakan secara tegas bahwa fakta & atau dokumen elektro dan atau output cetaknya merupakan indera bukti yg sah & mempunyai dampak aturan yg absah terutama dalam pembuktian dan hal yg berkaitan dengan perbuatan hukum yg dilakukan melalui Sistem Elektronik.

UU ITE secara tersirat berkaitan menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/ PUU-XVI/ 2016. Putusan itu adalah output pemeriksaan uji materi (judicial review) yang diajukan sang Setya Novanto melalui kuasa hukumnya terkait ketentuan bukti elektronika berupa output penyadapan (intersepsi) dalam Pasal 5 ayat (1) & ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor.

Di pada putusannya tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa bukti elektronik termasuk output penyadapan (intersepsi) bisa dijadikan menjadi alat bukti yang sah, jika diperoleh secara absah yang dilakukan pada rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, &/ atau institusi penegak aturan lainnya yang ditetapkan menurut undang-undang.

Jika bukti elektro nir diperoleh secara sah, maka hakim mengesampingkan atau menganggap tidak mempunyai nilai verifikasi di pengadilan.

Meskipun tindak pidana spesifik semisal UU ITE atau UU Tipikor & Undang-Undang lainnya telah mengatur tentang indera bukti elektronika sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya tetapi KUHAP sampai menggunakan dtk ini belum mengatur secara eksplisit tentang bukti elektronik menjadi galat satu jenis indera bukti yg sah buat verifikasi tindak pidana umum, lantaran sebagaimana Pasal 184 ayat 1 KUHAP yg mengungkapkan bahwa indera bukti yg sah dipersidangan adalah liputan Saksi, informasi Ahli, surat, petunjuk & kabar Terdakwa.

Meskipun pada praktek, umumnya Hakim bisa mendapat bukti elektro menjadi barang bukti atau sebagai indera bukti yang sah namun belumlah cukup memenuhi kepentingan verifikasi di peradilan karena masih pada tataran aturan materil.

Tentu masih dibutuhkan revisi terhadap KUHAP sebagai aturan formil tentang indera bukti elektronika sebagai alat bukti yang sah demi terwujudnya kepastian aturan. Rancangan (draft) Undang-Undang KUHAP sebenarnya telah membuat pengaturan mengenai indera bukti elektronika.

Berdasarkan hal-hal tadi diatas menarik buat dibahas mengenai bagaimana konsep indera bukti elektro yang masih ada pada RUU KUHAP sebagai perkembangan hukum acara pidana umum nasional?

Konsep Alat Bukti Elektronik Yang Terdapat Dalam RUU KUHAP Sebagai Perkembangan Hukum Acara Pidana Umum Nasional

Sudah seharusnya aturan haruslah dinamis nir boleh kaku (rigid), harus aktual, up to date mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan keadaan, apalagi seiring perkembangan teknologi, khususnya terhadap hukum program formil yaitu hukum program pidana dalam hal ini KUHAP,

KUHAP sudah berlaku dari tahun 1981 & hingga saat ini belum diperbaharui, tentu ini menyulitkan penegakan aturan di Indonesia terutama bagi Hakim, disaat kompleknya suatu perkara yg dihadapi apalagi Hakim dalam asasnya tidak boleh menolak suatu kasus tetapi disisi lain Hakim pada menyidangkan suatu kasus contohnya perkara pidana haruslah mengacu pada hukum acara formil/ aturan program pidana, sedangkan aturan acara pidana yang berlaku saat ini terasa sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.

Melihat perkembangan teknologi & variatifnya motif tindak pidana nir hiperbola apabila wajib segera dilakukan pembaharuan aturan pidana, pembaharuan hukum pidana dalam hakekatnya mengandung makna, suatu upaya buat melakukan peninjauan dan penilaian kembali sinkron menggunakan nilai-nilai sentral sosio-politik,sosio-filosofi dan sosio-kultural rakyat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal & kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Harus diakui perkembangan teknologi dalam akhirnya mempengaruhi penegakan aturan, karena kemajuan teknologi bisa membantu penegakan hukum secara teknologi juga, artinya suatu kejahatan bisa diungkap menggunakan suatu teknologi, & kejahatan yg memakai teknologi bisa diatasi menggunakan penegakan teknologi juga.

Misalnya merupakan indera bukti elektronika, dalam UU Tipikor, alat bukti elektronik diterima sebagai indera bukti yang absah yg adalah perluasan berdasarkan indera bukti petunjuk sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP, berupa liputan elektronika & dokumen elektronik,banyak kasus korupsi yg terungkap lantaran berawal menurut penyadapan dan penyadapan tersebut adalah sebagai indera bukti buat dilakukannya penegakan aturan tindak pidana korupsi, begitu jua menggunakan UU ITE, sebagai contoh misalnya masyarakat yg menyebarkan keterangan hoaks atau yang memicu permusuhan suku, rasa tau agama (SARA) atau menyebarkan materi muatan pornografi atau asusila di media sosial contohnya akan mudah diungkap oleh aparatur penegak aturan.

Pentingnya perkembangan teknologi penegakan aturan khususnya dalam pidana generik sebenarnya sudah termuat pada draft RUU KUHAP mengenai indera bukti elektro.

Didalam Pasal 175 ayat 1 draft RUU KUHAP Tahun 2012 yg menyatakan bahwa alat bukti yg absah meliputi: Barang bukti, Surat-surat, Bukti elektro, Keterangan seorang pakar, Keterangan seorang saksi, Keterangan Terdakwa; dan Pengamatan Hakim.

Lebih lanjut dalam Pasal 178 draft RUU KUHAP Tahun 2012 menyatakan bahwa bukti elektronika sebagaimana dimaksud pada Pasal 175 alfabet c merupakan sekalian bukti dilakukannya tindak pidana berupa wahana yang memakai elektro.

Didalam penjelasanya yang dimaksud dengan ?Bukti elektronika? Adalah kabar yg diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektro menggunakan alat optik atau yg serupa menggunakan itu, termasuk setiap rekaman data atau keterangan yg bisa dipandang, dibaca, dan/ atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa donasi suatu sarana baik yang tertuang pada atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronika yg berupa goresan pena, gambar, peta, rancangan, foto, alfabet , tanda, angka, atau perlubangan yg memiliki makna, sedangkan Bukti berupa wahana yg menggunakan elektronika dimaksud merupakan seperti telepon, foto, fotokopi, rekaman bunyi, video, VCD, internet, film, email, short message service (SMS).

Dilihat menurut isi Pasal tentang bukti elektronik, draft RUU KUHAP lebih luas cakupannya dibandingkan alat bukti elektronika sebagaimana diatur dalam UU Tipikor juga UU ITE, UU Tipikor misal sebatas pada fakta & dokumen elektro, sedangkan UU ITE juga sebatas pada keterangan elektronika &/atau dokumen elektronik &/ atau output cetaknya.

Draft RUU KUHAP lebih tegas menyampaikan alat bukti yang sah adalah bukti elektro ialah seluruh bukti elektronika termasuk tindak pidana berupa sarana yg menggunakan elektro adalah alat bukti yg absah lantaran barang bukti juga adalah indera bukti yang absah hal ini dimaknai bawa barang bukti elektronika dan bukti elektronik merupakan alat bukti yg sah.

Oleh karena itu meskipun dalam tindak pidana spesifik misalnya UU Tipikor, UU ITE dsb sudah mengakomodir indera bukti elektronika tetapi tindak pidana generik yg tidak kalah jauh pentingnya wajib juga diakomodir karena pengaturan bukti elektronik menjadi indera bukti yang sah di pada UU ITE juga UU Tipikor ini adalah pengaturan dalam bentuk aturan materiil yg di dalamnya pula mengatur hukum acara/hukum formal.

Demi kepastian aturan dalam penegakan aturan oleh hakim, perlu dilakukan pengaturan bukti elektronika menjadi indera bukti dalam Hukum Acara baik perdata maupun pidana.

Selain itu alat bukti berita elektronika dan dokumen elektronik itu mempunyai sifat yang tidak selaras dengan alat bukti yg sudah ada dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP.

Alat bukti warta elektronika nir sanggup dijadikan menjadi ekspansi sumber perolehan alat bukti petunjuk karena mengingat buat keberadaan alat bukti petunjuk itu dipakai pada setelah menghadirkan alat bukti lain.

Padahal indera bukti fakta elektro & dokumen elektronika buat beberapa masalah pidana sanggup sebagai indera bukti primer dan pertama dalam pembuktian terutama jika berkaitan menggunakan kejahatan dunia maya atau cybercrime.

Sebenarnya bukti elektro pernah digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam pembuktian di persidangan pidana generik model kasusnya adalah perkara kopi sianida atau kopi mirna menggunakan Terdakwa Jessica Kumala Wongso dan Jaksa/ Penuntut Umum menghadirkan bukti berupa Closed Circuit Television (CCTV), sebagaimana Keterangan Ahli Hukum Pidana Edward OS Hiariej yang menyampaikan bahwa CCTV bisa dijadikan bukti meskipun KUHAP belum mengatur bukti elektronik untuk tindak pidana generik, & rekaman CCTV tadi diterima Hakim dalam ketika itu sebagai ekspansi menurut Pasal 184 ayat 1 KUHAP menjadi ?Barang bukti? Yang jika bersesuaian menggunakan berita & peristiwa pidana dapat dijadikan Majelis Hakim menjadi Petunjuk untuk memastikan peristiwa pidana.

Keterangan Ahli Hukum Pidana Edward OS Hiariej memperlihatkan bahwa pengaturan mengenai alat bukti elektro penting untuk diatur di KUHAP, lantaran dapat semakin memberikan kepastian hukum bagi penegak aturan untuk mengungkap kejahatan, khususnya pada perkara-perkara tindak pidana generik.

Khususnya bagi hakim pengadilan, maka pengaturan tadi akan membantu hakim dalam membentuk putusan hukum yg ideal yaitu putusan yg mempunyai nilai keadilan, kemanfaatan & kepastian aturan sebagaimana yg dikemukakan oleh Gustav Radbruch menjadi 3 (3) nilai dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian aturan, selanjutnya, Radbruch mengajarkan penggunaan asas prioritas berdasarkan ketiga asas tadi, dimana prioritas pertama selalu jatuh dalam keadilan, baru kemanfaaatan dan terakhir kepastian hukum.

Penutup

Bahwa hukum yang baik haruslah dinamis dan nir boleh kaku wajib selalu mengikuti perkembangan teknologi dan sang karenanya diharapkan pembaharuan aturan acara pidana secara komprehensif baik hukum program pidana tindak pidana spesifik juga tindak pidana generik & draft RUU KUHAP sudah memuat mengenai alat bukti elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 175 ayat 1 draft RUU KUHAP Tahun 2012 yg menyatakan bahwa alat bukti yg sah mencakup: Barang bukti, Surat-surat, Bukti elektronika, Keterangan seorang pakar, Keterangan seseorang saksi, Keterangan Terdakwa; & Pengamatan Hakim, sehingga mengingat urgensi pengaturan indera bukti elektro pada RUU KUHAP sanggup memberikan terwujudnya kepastian aturan untuk penggunaannya pada penegakan hukum tindak pidana umum maka kepada Pemerintah dan DPR buat segera memberlakukan dan mengundangkan RUU KUHAP tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Cetakan Kesatu, Bandung, Refika Aditama, 2005.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis & Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta,1993.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2010

Nur Laili Isma & Arima Komiyatun, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik pada Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya pada Pembuktian Tindak Pidana, Jurnal Penelitian Hukum, Volume 1, Nomor dua, Juli 2014,

Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrime Law, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013.

B. Makalah

Efa Laela Fakhriah, Kedudukan Bukti Elektronik sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Makalah disampaikan pada Seminar Terbatas kerja sama Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI dengan Perguruan Tinggi dengan Thema: ?Validitas Alat Bukti Transaksi Elektronik Perbankan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya UU No. 11 Tahun 2008?, tanggal 25 November 2009, Grand Pasundan Hotel, Bandung.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 mengenai Dokumen Perusahaan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Penetapan Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 mengenai Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan & Pemberantasan Perusakan Hutan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/ PUU-XVI/ 2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenai Informasi & Transaksi Elektronik & Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Putusan Perkara Pidana Nomor 777/ Pid.B/ 2016/ PN. JKT. PST atas nama Terdakwa Jessica Kumala Wongso

E. Internet & lain-lain

https://www.liputan6.com/news/read/2586467/saksi-ahli-sebut-cctv-kasus-mirna-bisa-jadi-alat-bukti diakses pada tanggal 14 Februari 2020 Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2