Kesaksian ABK Indonesia di Kapal China: Tidur Cuma 3 Jam, Makan Umpan Ikan

Loading...

Loading...

Lima orang Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja pada kapal China Long Xing 629 bercerita kepada BBC News Indonesia mengenai pengalaman mereka bekerja pada kapal itu selama sekitar 14 bulan.

Mereka & sembilan ABK lainnya, yang sekarang ada pada Busan, Korea Selatan, dijadwalkan untuk pulang ke Indonesia Jumat (08/05).

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebelumnya mengumumkan empat dari ABK yang bekerja pada kapal itu tewas dunia.

Tiga dikuburkan di laut (dilarung), sementara satu orang mati global di satu fasilitas kesehatan pada Busan.

Pemerintah Indonesia meminta pemerintah China menilik perkara ini dan meminta perusahaan kapal itu bertanggung jawab.

Kasus ini juga tengah diselidiki aparat keamanan pada Korea Selatan. Inilah kisah yg dituturkan lima ABK menurut Busan.

'Tidur hanya tiga jam'

Salah satu ABK Indonesia itu, BR, mengungkapkan ia tidak bisa bekerja di atas kapal ikan berbendera China itu, karena jam kerjanya yg di luar batas.

"Bekerja terus, untuk makan (hanya bisa waktu) kurang lebih 10 mnt & 15 mnt. Kami bekerja mulai jam 11 siang hingga jam 4 dan 5 pagi," ungkapnya pada wawancara melalui video online, Kamis (07/05).

"Setiap hari begitu."

Rekannya, MY, 20 tahun, menyampaikan hal serupa.

Pria lulusan Sekolah Menengah Kejuruan di Kepulauan Natuna, Riau ini, acap kali "hanya tidur tiga jam". Sisanya membanting tulang mencari ikan.

"Kalau kita ngeburu kerjaan (mencari ikan), kadang kita tidur cuma 3 jam," ungkapnya.

Mereka berkata kapten kapal mengharuskan dalam ABK Indonesia mencapai "target" ikan dalam jumlah eksklusif setiap harinya.

"Mau protes, susah sekali, kita pada tengah bahari," kata BR.

Sejumlah ABK berkata kontrak kerjanya tidak mengatur soal jam kerja.

RV, 27 tahun berasal Ambon, Maluku, adalah salah satunya.

"Tidak tertulis soal jam kerja, jadi baru diatur oleh kapten kapal ketika pada bahari," ujar RV.

Namun, terdapat juga ABK Indonesia, yang diberangkatkan agen lain, yang jam kerjanya diatur pada kontrak.

Beberapa sempat menanyakan soal jam kerja, tetapi nir berlanjut, lantaran mengaku "takut dipulangkan".

Meski bekerja membanting tulang, sejumlah ABK itu mengaku honor mereka belum dibayar.

'Makan umpan ikan, minum sulingan air laut'

Tidak hanya perkara jam kerja yang pada luar batas, NA, 20 tahun, anak buah kapal Long Xin 629 asal Makasar, Sulsel, mengaku 'dianaktirikan' soal makan & minum.

Menurutnya, ABK yg non-Indonesia menerima jatah kuliner yang "lebih bergizidanquot; ketimbang mereka. "Kita dibedain menggunakan orang beliau."

Di pada kapal penangkap ikan itu, awalnya terdapat 20 ABK WNI dan kurang lebih enam orang merupakan ABK asal China.

"Air minumnya, jikalau beliau minum air mineral, kalau kami minum air sulingan menurut air laut," ungkap NA. "Kalau makanan, mereka makan yang segar-segar...," istilah NA.

KR, 19 tahun, dari Manado, menambahkan, "Mereka makan enak-enak, bila kami seringkali makan ikan yang umumnya buat umpan itu."

'Melepaskan jenazah'

Pengalaman pahit yang sulit mereka lupakan merupakan ketika harus melarung 3 jenazah rekannya ke lautan tanggal.

Upaya mereka supaya jenazah 'disimpan' di ruang berpendingin, & kelak dikubur "secara layakdanquot; di daratan, ditolak kapten kapal.

Mereka berulang-ulang meminta kepada kapten kapal agar jenazah rekannya itu dikubur saat kapal berlabuh.

"Kami telah ngotot, akan tetapi kami nir sanggup memaksa, wewenang menurut dia [kapten kapal] semua," kata NA.

"Mereka beralasan, bila mayat dibawah ke daratan, seluruh negara akan menolaknya," NA menirukan jawaban kapten kapal.

Dihadapkan kenyataan pahit misalnya itu, NA & rekan-rekannya yg beragama Islam, akhirnya hanya bisa memandikan dan mensalati jenazah rekan-rekannya.

"Kami mandikan, salati dan baru 'dibuang'," ujarnya.

MY mengungkapkan, hal itu melanggar kontrak ABK, lantaran di perjanjian awal "[jenazah] ABK bisa dipulangkan."

Minta pemerintah gugat

Baik RV, BR maupun KR, MY maupun NA putusan bulat bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan gugatan hukum pada pemilik kapal asing.

"Agar insiden ini nir terulang lagi," ujar mereka.

Sementara, MY & NA berharap pengalaman jelek mereka pada atas kapal Long Xin 629 nir dialami rakyat Indonesia yg tertarik buat "melaut".

Untuk itulah, mereka mengharapkan agar perusahaan yang mengirimkan calon ABK agar lebih memperhatikan soal hak-hak mereka sebagai ABK.

"Kita kan sudah ada perjanjian, dan ada pelanggaran kayak gini. Kita maunya perusahaan [yang mengirimkan mereka] bersikap lebih tegas," istilah MY.

"Pelarungan sesuai prosedur"

Koordinator ILO Asia Tenggara buat Proyek Perikanan, Abdul Hakim, mengungkapkan para pekerja berhak memahami rincian pekerjaan mereka, misalnya jam kerja, di kontrak awal.

"Itu pelanggaran," istilah Abdul menanggapi pengakuan sejumlah ABK Indonesia yg mengaku kontrak kerjanya tidak liputan itu.

Ia berkata harusnya jam kerja sampai hak-hak pekerja buat beristirahat dicantumkan pada kontrak kerja.

Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan pada Penangkapan Ikan, kata Abdul, mengatur ABK berhak beristirahat selama 10 jam sehari dalam kapal yang permanen di bahari selama tiga hari.

"Problemnya (pada kasus ini) terdapat di soal kelelahan, keletihan, dan tidak terjaminnya masa istirahat," ujar Abdul.

Terkait pelarungan jenazah, Abdul berkata proses pelarungan atau sea burial diatur dalam ILO Seafarers Regulation.Aturan itu memperbolehkan kapten kapal memutuskan melarung jenazah dalam kondisi, antara lain jenazah mati karena penyakit menular atau kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan jenazah, sehingga dapat berdampak dalam kesehatan pada atas kapal.

Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, ABK pada kapal ikan termasuk pekerjaan yg berisiko tinggi.

Ia mengatakan perkara seperti ini, wajib diselesaikan dari hulu.

"(Pemerintah) mendorong supervisi lebih ketat terhadap penyusunan perjanjian kerja bahari antara awak kapal menggunakan pihak pemilik kapal sebagai akibatnya nir ada klausul yg merugikan hak-hak awak kapal," ujar Retno.

"Mendorong penegakan aturan terhadap -pihak yang memberangkatkan awak kapal tanpa melalui prosedur. Pelaksanaan hukuman perlu dikedepankan dari UU 21/2007 mengenai tindak pidana perdagangan orang."

Retno menyampaikan dalam konferensi pers secara daring (07/05) bahwa pihaknya sudah mengadakan komunikasi menggunakan Dubes Tiongkok terkait masalah itu.

Salah satu yg dituntutnya merupakan tanggung jawab berdasarkan perusahaan China yang mempekerjakan para ABK.

"Meminta dukungan pemerintah Tiongkok buat membantu pemenuhan tanggung jawab perusahaan atas hak para awak kapal Indonesia, termasuk pembayaran gaji yang belum dibayarkan dan syarat kerja yang kondusif," ungkapnya.

Retno mengungkapkan, pemerintah China menjamin, mereka akan memastikan supaya perusahaan kapal China itu bertanggung jawab buat mematuhi hukum yang berlaku dan kontrak yang telah disepakati.

Sumber :detik.com

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2