Kedudukan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Kita memahami bahwa istilah yang sering kita dengar tentang lambaga kejaksaan seperti Jaksa, Penuntut Umum dan Jaksa Penuntut Umum adalah mempunyai makna yang berbeda, sebagaimana telah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya, yakni Pengertian Jaksa, Penuntut Umum dan Jaksa Penuntut Umum.
Istilah "criminal justice system" atau sistem peradilan pidana (SPP) kini juga telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem (Romli Atmasasmita, "Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana 2011, Halaman 2).
Kedudukan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan:
- Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
- Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
- Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Lebih lanjut Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu "integrated criminal justice system". Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut:
- Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
- Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan
- Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
Pembedaan kewenangan yang tegas dan jelas dalam upaya mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu, dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur fungsi dan wewenang Penyidik dan Penuntut Umum. Semasa berlakunya HIR, kedua komponen penegak hukum tersebut berwenang melakukan penyidikan untuk semua jenis perkara, sehingga antara keduanya terjadi rivalitas dalam penyidikan (Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Kencana 2014, Halaman 165-166). Sesungguhnya keinginan untuk memisahkan antara wewenang penyidikan dan penuntutan dapat dilihat dalam Pasal 4 KUHAP yang menentukan, penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia.
Walaupun terdapat ketentuan alfabet b Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang memilih, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yg diberi wewenang spesifik sang Undang-Undang menjadi Penyidik, akan namun tidak mengurangi makna pejabat Polisi Negara sebagai Penyidik Utama lantaran Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tetap di bawah koordinasi dan kendali Penyidik Polisi Republik Indonesia. Adapun Pasal 13 KUHAP menentukan, Penuntut Umum ialah jaksa yg diberi kewenangan oleh Undang-Undang buat melakukan penuntutan & melaksanakan penetapan Hakim.
Dengan demikian, sangat kentara bahwa KUHAP menghendaki pemisahan antara instansi yg berwenang melakukan penuntutan & yg berwenang melakukan penyidikan. Ketentuan ini seharusnya ditegakkan secara konsisten pada proses peradilan pidana, sebagai akibatnya Undang-Undang yg dibentuk sehabis berlakunya KUHAP harus permanen diubahsuaikan dengan inspirasi dasar pemisahan kewenangan tersebut. Tidak seperti kini yang mana wewenang buat melakukan penyidikan masih tersebar dalam beberapa instansi, walaupun terbatas pada penyidikan tindak pidana eksklusif.
Kejaksaan contohnya, masih berwenang melakukan penyidikan terhadap penghasil tindak pidana korupsi menggunakan berdasar pada Pasal 284 ayat (dua) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) alfabet d UU Nomor 16 Tahun 2004 mengenai Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung pula berwenang menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat menurut Pasal 21 UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia & Perwira Angkatan Laut berwenang menyidik tindak pidana perikanan menurut Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan yg sudah diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009.
Pemisahan kewenangan penyidik pada instansi yg berbeda memiliki kelebihan dari sisi peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum, melalui prosedur saling mengawasi. Aparat Kepolisian yang sebagai penyidik akan berusaha menaikkan kualitas penyidikan, karena output penyidikan akan diserahkan ke penuntut umum. Hasil penyidikan yg tidak lengkap akan dikembalikan oleh penuntut generik buat dilengkapi. Dengan prosedur seperti ini, akan mendorong aparat penyidik kepolisian buat bekerja secara professional sehingga akan membentuk penyidikan yang berkualitas.
Berbeda jika kewenangan penyidik & penuntut berada pada instansi yang sama. Secara teoritis prosedur pengawasan antara penyidik dan penuntut generik bisa dilakukan, akan namun dalam praktik sulit dilakukan lantaran nir tertutup kemungkinan penyidik juga akan menjadi penuntut generik.
Berkaitan menggunakan ini, Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa bila dibandingkan menggunakan sistem peradilan pidana di Indonesia, bisa dikemukakan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia sejak HIR sampai dalam KUHAP, dalam praktik nir poly mengalami perubahan signifikan secara substansial kecuali sistem organisasi pendukung sistem peradilan sudah berubah, di mana penyidik Polri tidak berada di bawah supervisi langsung menurut penuntut umum lagi. Kesederajatan posisi kedua forum penegak aturan versi KUHAP bukan tidak mengalami hambatan lantaran pada praktik seringkali terjadi hubungan organisasi yg nir serasi & berdampak terhadap kepentingan para pencari keadilan.
Hal ini terbukti dari berkas kasus pidana acapkali bolak-balik dari penyidik Polisi Republik Indonesia ke penuntut generik sehingga buat dinyatakan masalah pidana telah lengkap buktinya (P21) & siap dilimpahkan ke pengadilan, merupakan suatu keniscayaan kecuali terdapat komitmen buat saling menghargai kinerja antara masing-masing forum penegak aturan tadi.
Selain dalam konteks proses penyidikan, sebagaimana Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara pada bidang penuntutan serta kewenangan lain menurut Undang-Undang. Di bidang penuntutan, Jaksa diberi kewenangan menjadi penuntut umum buat semua jenis tindak pidana, kecuali tindak pidana yg diatur pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana komisi ini memiliki penuntut generik sendiri meskipun penuntut umum yg dimaksud jua bersumber dari kejaksaan. Dalam konteks inilah keterpaduan dari sistem penuntutan baik yang dilakukan sang Kejaksaan juga sang KPK perlu selalu dijaga harmoni dan koordinasinya agar tidak terjadi rivalitas dan tidak selaras diantara keduanya.