Aleh hai Luha, Ba hai Teungku
Syaribanun mendengar sebuah kalimat anggun pada televisi. "Upaya buat mencerdaskan kehidupan bangsa tidak pernah surut, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah". Ada seorang pejabat yang mengucapkan kata itu buat sebuah program seremonial.
Wanita itu tidak mengerti sahih pada mana program itu berlangsung. Tapi kalimat tadi terus membekas di hatinya.
Jen- jen jok tiba tak lama sesudah Syaribanun "merekam" kalimat tadi. Di televisi masih berlangsung acara warta berita yg menampilkan banyak sekali kegiatan berikut ucapan-ucapannya. Dia teringat kepada karibnya Bapak Kepala yang jua sering melontarkan kata-kata itu jika memberi pengarahan kepada anak buahnya. Atau Jen- jen jok jangan lupa betul bagaimana dengan safari warna abu-abu tua Bapak Kepala berdiri di depan para hadirin. Penuh wibawa seorang pemimpin.
Atau pada kesempatan lain waktu Bapak Kepala seolah memperoyeksikan diri menjadi Bapak Atasan dengan ungkapan-ungkapannya yang penuh wejangan. "Marilah kita meningkat rasa persatuan dan kesatuan melalui penerapan & aplikasi Kadarkum pada rangka menuju tinggal landas dan menyongsong sidang umum," istilah Bapak Kepala saat itu. Televisi lokal pun menyiarkan program Kadarkum itu, karena Bapak Kepala mewakili atasannya, sekaligus membaca pidato tertulis.
Kepada jen- jen jok Bapak Kepala lalu mengakui kalau apa yg diucapkan itu sebenarnya tak beliau mengerti menggunakan kentara. Dia cuma membaca, sedangkan yang tulis adalah orang lain. Dia tidak sanggup jua paham apa hubungannya antara Kadarkum menggunakan tinggal landas. Apa juga interaksi tinggal landas dengan sidang umum. "Pokoknya saya tinggal baca karena karena Bapak Atasan berhalangan hadir," pungkasnya mengungkapkan kepada Jen- jen jok. "Yang paling krusial," istilah Jen- jen jok menyarankan, "jangan sekali-sekali lupa mengirim salam Bapak Atasan, menggunakan mengungkapkan sebenarnya dia berkeinginan hadir, akan tetapi berhubung....."
Bapak Kepala tertawa mendengar ta'limat Jen- jen jok yang seolah- olah paling memahami tradisi birokrasi. Termasuk tradisi seorang pejabat pengganti alias pejabat pembaca istilah sambutan yg selalu nir lupa menggunakan kalimat sterotip "Sebenarnya beliau berkeinginan buat hadi, Tapi......". Perkara terdapat atau tidaknya Bapak Atasa kirim salam kepada hadirin, itu soal lain. Yang penting harus begitu. Kalau tidak beliau akan kena tegur. Sebab, umumnya walau sudah mengirim wakil resmi buat membacakan sambutannya, Bapak Atasan juga tidak lupa mengirim mata-mata buat mengamati bagaimana tingkah laku orang yg mewakilinya: Apakah terdapat kreueh bhan keue ngon bhan likot? Kreueh bhan keue ngon bhan likot merupakan sebuah kalimat insinuasi yang muncul pada masa sekarang sesuai dengan konteks kekinian.
Sedangkan pada masa lalu, berbagai ungkapan digunakan buat menyindir seseorang sesuai menggunakan konteks masa itu. "Takheuen bangai ok teukoh, takheuen kolot sikula pih na." Jika sesorang didapati galat lantaran kebodohannya maka ungkapan yg merupakan: Dibilang dungu rambut terpangkas, dibilang udik sekolah pun ada, menjadi sindirin sempurna. Ungkapan itu tentu sinkron konteks zamannnya. Dulu, lelaki yang memangkas rambutnya relatif langka. Hanya orang-orang terpelajar & telah maju saja yang berpangkas rambut. Selebihnya, ya dicukur.
Demikian jua menggunakan soal sekolah. Amat sporadis orang tua di kampung yg pernah mengenyam sekolah pada taraf yang memadai. Apalagi yang sempat mendapat didikan pada Mulo --sebuah sekolah menengah masa Belanda. Tapi meski tidak sekolah, jangan kira orang-orang tua itu buta huruf --atau bahasa kini disebut buta aksara. Rata-rata orang zaman sanggup membaca menggunakan lancar dan sekaligus mampu berkomunikasi dengan orang luar dengan menggunakan bahasa Melayu. Pengajian buku Jawo yaitu goresan pena Arab bahasa Melayu sudah memung- kinkan orang Aceh pintar membaca plus berbahasa Melayu alias bahasa Indonesia. Hanya yang tidak pernah mengaji saja yang tidak memiliki kemampuan tadi.
Seorang sahabat Jen- jen jok di masa kecil, Luha namanya. Pria ini sama sekali nir bisa bahasa Melayu dan membaca kitab Jawo. Dia dulu tergolong yg malas mengaji. Untuk mengeja huruf-alfabet Arab dalam buku Mukaddam saja, Luha tidak bisa. Telah tiga buah Muhaddam sempat lusuh, Luha belum jua jika membaca alif ba ta sa. Apalagi jikalau disuruh membca rangkaikan ba ateueh bareh ba, ba pada yup bareh bi, ba kiwieng bareh bu. Dia bisa menghafal kata-kata itu, akan tetapi mana yang ba, beliau tidak tahu.
Sebagai seseorang teman, Jen-jen jok memperlakukan Luha menggunakan baik, tidak sama menggunakan beberapa sahabat lain yg seolah mengucilkannya. Maka kepada Jen- jen jok pula Luha membicarakan isi hatinya. Dia beropini, buat apa mengaji tinggi-tinggi lantaran orang alim telah ramai. Kenapa harus sekolah lantaran pengajar & kerani telah penuh kantor.
Tapi Luha tak bisa menjawab ketika Jen- jen jok mengajukan pertanyaan, kepada beliau wajib kawin lantaran suami telah poly. Dia cuma terkekeh-kekeh sembari menyebut nama seorang anak wanita yg beliau gilai selama ini.
Memang Luha merupakan satu pada antara lelaki yang tak mengerti bahasa Melayu & tidak mampu membaca kitab Jawo. Sekolah & mengaji adalah 2 hal yg tidak menarik baginya. Malah beliau menganggap pulang mengaji ke tempat tinggal Teungku sebuah keterpaksaan lantaran disuruh orangtuanya. Jen- jen jok mencoba menyadari Luha, namun sahabatnya itu tetap pada prinsipnya. "Coba Luha baca ba ateueh bareh ba, ba di yup bareh bi, ba kiwieng bareh bu. Ba bi bu....," tuntunnya. Dengan relatif sigap Luha pun menjawab: Ba bi bu, soe nyang ba po nyan bi bu..."
Pernah suatu malam dalam pengajian pada tempat tinggal Teungku, Luha diajarkan mengenal alif --yg dalam lafal Aceh dieja dengan aleh. Sang Teungku memegang tangan anak lelaki itu sembari mengarahkan lidi pada tangan sebagai alat penunjuk alfabet -- ke alfabet alif. "Aleh hai Luha," istilah
Teungku meminta dia mengulangi istilah-katanya. "Ba hai Teungku," jawab Luha. Dan merasa dipermainkan, Teungku berucap: "Kacok alee kuneuk poh Si Luha...." Lalu: "Kacok nuga kuneuek poh Teungku," jawab sang siswa.
Setelah itu Luha tidak pernah lagi hadir di pengajian. Syaribanun mendengar cerita suaminya perilhal Luha. Dia teringat kalimat-kalimat seorang pada televisi tadi. "Upaya buat mencerdaskan
kehidupan bangsa nir pernah surut, baik melalui jalur pendidikan sekolah juga jalur pendidikan luar sekolah." Juga kisah Bapak Kepala yang membaca pidato tertulis Bapak Atasan. Dia membayangkan seseorang Luha. Dengan rangkaian kalimat: Aleh hai Luha, ba hai Teungku.
Disadur dari blog Barlian AW