Pengawasan Dana Desa
Perlahan tapi pasti, dana desa termin pertama mulai mengalir ke 73.709 desa di Indonesia (BPS, Mei 2015). Mengucurnya dana desa telah sebagai babak baru bertambahnya sumber keuangan desa. Sementara selama ini APBN nir "mengenal" desa, mulai tahun ini APBN menjadi galat satu asal keuangan desa.
Jika dirunut, dalam awal kemunculan UU Desa, nir sedikit kalangan yang mencurigai kemampuan desa mengelola dana desa. Dalam konteks tadi, dana desa yang telah mulai dikucurkan April 2015 harus sebagai titik pijak verifikasi pemerintah dan masyarakat desa terhadap kalangan yang pesimistis tersebut. Desa wajib menandakan bahwa dengan adanya dana desa bisa menghadirkan manfaat bagi pemerintah dan rakyat desa & bisa dikelola menggunakan amanah.
Pertanyaannya, bagaimana mengoptimalkan penggunaan dana desa? Yang primer tentu saja prinsip pengelolaan. Memang, kepala desa adalah kuasa pengguna anggaran desa. Tapi, kekuasaan ini tidak boleh digunakan semena-mena. Jajaran pemerintah desa wajib mengutamakan prinsip keterbukaan, bertanggung jawab, & partisipasi dalam mengelola dana desa. Informasikan berapa dana desa yg diterima desa, buat apa saja akan dipakai, pada mana lokasinya, & siapa penerima manfaatnya. Informasi ini harus diketahui seluruh elemen pada desa tanpa terkecuali.
Apabila kiprah pemerintah desa lebih pada aspek hukuman anggaran, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus aktif mengontrol penggunaan dana desa. Apabila selama ini BPD terkesan sebagai lembaga stempel kebijakan pemerintah desa, sekarang hal itu tidak boleh terjadi lagi. Peningkatan kapasitas pengetahuan & peran BPD harus segera dijalankan. Memang telah terdapat training maupun pengenalan berdasarkan pihak pemerintah. Tapi menurut pengalaman penulis, pelatihan atau sosialisasi nir pernah ada tindak lanjut dalam bentuk supervisi dan fasilitasi.
Di samping pemerintah desa & BPD, Warga desa tidak boleh pasif. Warga yg aktif bukan dalam arti mengkritik tanpa memberi solusi. Tidak juga prasangka menjatuhkan atau mencari-cari kesalahan ketua desa supaya sanggup dipidanakan. Warga aktif yang dimaksud merupakan rakyat desa yg mau terlibat dalam pembahasan dana desa & secara sukarela ikut mengawasi. Apabila ada pertanda penyalahgunaan, rakyat aktif bisa segera berkomunikasi dengan BPD supaya sanggup segera diselesaikan.
Yang nir boleh dilupakan adalah kiprah kabupaten. Dalam UU Desa, Pemerintah Kabupaten dapat mengawasi pengelolaan keuangan desa (UU Desa, Pasal 115 g). Dengan begitu, Kabupaten nir boleh "berpangku tangan", melainkan wajib menaikkan pengawasannya agar dana desa bisa dikelola dengan sahih sinkron menggunakan kaidah administrasi pemerintahan. Tidak boleh terdapat pikiran, lantaran dana desa asal berdasarkan APBN dan diberikan ke desa, kabupaten tidak punya urusan. Ini jelas pikiran yang berbahaya.
Apabila aneka macam pihak pada atas bekerja sama dengan prinsip saling menghormati kiprah masing-masing dan berkomitmen tinggi untuk memajukan desa, keraguan pihak terhadap kapasitas desa dalam mengelola dana desa akan terpatahkan. Apabila peran antarpihak nir dipahami dengan baik sebagai akibatnya tidak ada kolaborasi, dana desa ini sanggup sebagai awal bencana bagi desa.
Oleh M Zainal Anwar
Manajer Program Governance and Policy Reform Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, KORAN TEMPO, 04 Juni 2015