Pendampingan Desa tak Lupakan Mukim
Membaca pengumuman Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi Aceh terkait penerimaan calon energi pendamping profesional dalam rangka mendukung implementasi UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), pada daerah Aceh dan berita terkait berjudul ?BPM Aceh Terima dua.582 Tenaga Pendamping Desa? (Serambi, 4/8/2015), penting dikritisi. Kepala BPM Aceh, Drs Zulkifli Hs MM, antara lain menyebutkan: ?Tenaga pendamping profesional selain buat beberapa posisi yang berkedudukan di kabupaten/kota, jua terdapat 309 orang pendamping desa berkedudukan di kecamatan & dua.231 orang pendamping lokal yg bertugas pada gampong.?
Dari pengumuman dan penerangan Kepala BPM Aceh tadi, mengindikasikan adanya pengabaian terhadap eksistensi dan kedudukan pendamping desa pada tingkat mukim dalam daerah Aceh. Padahal secara tegas UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Pasal 2 mengungkapkan: (1) Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota, (2) Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan, (3) Kecamatan dibagi atas mukim, (4) Mukim dibagi atas kelurahan & gampong.
Dengan ketentuan Pasal 2 UUPA tersebut, Aceh memiliki struktur pemerintahan antara gampong dan kecamatan yg disebut menggunakan mukim. Sehingga dalam penerapan UU Desa pada Aceh, termasuk aktivitas pendamping desa, tidak boleh mengabaikan keistimewaan dan/atau kekhususan Aceh sebagaimana termaktub pada UU No.44 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh & UUPA. Karenanya, spesifik buat wilayah Aceh kebijakan & petunjuk teknik operasional pendampingan desa mesti disingkronisasikan & diharmonisasikan menggunakan berbagai ketentuan keistimewaan dan/atau kekhususan Aceh.
Keberadaan Mukim pada Aceh mempunyai akar sejarah peradaban yg panjang. Dalam Qanun Syara? Kesultanan Aceh (Qanun Al-Asyi) yg ditulis ulang sang Teungku Di Mulek pada kitab Tazkirah Tabakah dalam 1270 Hijriyah (kurang lebih 1864 M), dengan jelas disebutkan istilah ?Mukim? Sebagai persekutuan gampong-gampong pada Aceh. Qanun ini memuat dasar-dasar rapikan pemerintahan di Aceh. Satu kutipan terkait mukim adalah ?Maka tiap-tiap satu mukim, ada yg lima meunasah, & ada yg tujuh meunasah, & terdapat yang delapan meunasah, dan sekurang-kurangnya tiga meunasah berdasarkan `uruf tempatnya masing-masing.? (Abdullah Sani, 2005).
Tetap diakui
Konsepsi mukim sangat dipengaruhi sang bahasa Arab menjadi asal istilah ?Mukim? Yg ialah ?Berkedudukan dalam suatu loka?. Konsepsi ini terkait dengan prasyarat kebutuhan jamaah shalat Jumat sinkron mazhab Syafi?I sebanyak 40 orang dewasa(Zainuddin, 1971; Snouck Hurgronje, 1985). Pada masa Belanda keberadaan mukim permanen diakui dan diatur secara spesifik dalamBesluit van den Governeur General van Nederland Indie No.8/1937.Masa penjajahan Jepang, pemerintahan mukim pula permanen diakui berdasarkan Osamu Seirei No.7/1944.
Setelah Indonesia merdeka, buat mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh No.2 dan No.Lima Tahun 1946, yg menurut ke 2 peraturan tersebut, pemerintahan mukim berlaku semua Aceh. Akan namun kedudukannya tidak lagi berada pada bawah Uleebalang, lantaran lembaga ini sudah dihapus menggunakan kedua peraturan tersebut, sehingga mukim berada di bawah kecamatan & membawahi beberapa gampong.
Namun, dalam masa Orde Baru keberadaan mukim di Aceh sempat hilang legitimasi hukumnya akibat pemberlakuan UU No.5 Tahun 1974 mengenai Pemerintahan Daerah & UU No.Lima Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Keberadaan mukim dalam system pemerintahan di Aceh pulang diakui pada UU No.18/2001 mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah spesial Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) & dilanjutkan dalam UUPA.
Ditinjau dari berbagai peraturan perundang-undangan, pengakuan kedudukan dan kiprah mukim di Aceh bisa digolongkan dalam 3 hal:
Pertama, sebagai Lembaga Pemerintahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal dua ayat (1) & (2), Pasal 112 ayat (3b) & Pasal 114 UUPA. Juga sesuai dengan Qanun Aceh No.4 Tahun 2003 mengenai Mukim, yg sekarang diatur kembali pada aneka macam qanun kabupaten/kota tentang mukim buat adaptasi menggunakan UUPA. Terakhir Qanun Aceh No.3 Tahun 2009 mengenai Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imeum Mukim.
Kedua, sebagai Lembaga Adat. Hal ini sinkron dengan ketentuan Pasal 6 dan 7 UU No.44 Tahun 1999 dan Pasal 98 UUPA. Secara rinci pula diatur dalam Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat & Adat Istiadat, Qanun Aceh No.10 Tahun 2008 mengenai Lembaga Adat & Peraturan Gubernur Aceh No.60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat.
Dalam menjalankan kegunaannya menjadi forum tata cara, mukim memiliki kelengkapan organisasi yang terdiri menurut Keujruen Blangdalam bidang tata cara persawahan; Peutua Seneubok pada bidang tata cara perkebunan; Panglima Laot dalam bidang adat laut; Pawang Glee (Panglima Uteun) dalam bidang tata cara hutan; Syah Bandadalam bidang tata cara pelabuhan, dan Haria Peukan dalam bidang perdagangan. Beberapa mukim juga mempunyai lembaga Peutua Krueng pada bidang istiadat sungai.
Dan, ketiga, sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum. Hal ini sinkron menggunakan ketentuan Pasal 1 ayat (19) UUPA. Konsekwensi menurut ketentuan ini, maka mukim berwenang membangun produk hokum berupa qanun mukim, peraturan imeum mukim & keputusan imeum mukim. Kedudukan dan Hubungan Mukim-Gampong
Berbasis adat
Berdasarkan sandaran historis & yuridis di atas, menjelaskan bahwa kedudukan & hubungan mukim-gampong merupakan sebagai satu sistem pemerintahan berbasis adat. Beberapa kabupaten malah secara tegas mengungkapkan dalam Qanun Kabupatennya mengenai Mukim bahwa mukim diakui menjadi pemerintahan norma (Aceh Besar, 2009; Bener Meriah, 2009; Aceh Barat, 2010 & Pidie, 2011). Hal ini sinkron jua bahwa para keuchik & imum gampong dalam wilayah mukim tersebut --selain tuha peut mukim, imum chik, para kepala lembaga adat-- adalah anggota musyawarah mukim (Qanun Aceh No.3 Tahun 2009). Dengan demikian dapat disimpulkan jua bahwa, keputusan musyawarah mukim merupakan keputusan gampong-gampong dalam daerah mukim tadi.
Jika mengacu pada ketentuan umum UUPA terkait mukim dan gampong, bisa disimpulkan bahwa kedudukan gampong & mukim bersifat hirarkhi, sedangkan hubungannya bersifat persekutuan (federasi). Ini sinkron menggunakan suara ketentuan gampong pada UUPA: ?Gampong atau nama lain merupakan kesatuan warga aturan yang berada di bawah mukim dan dipimpin sang keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.? Sedangkan mengenai Mukim: ?Mukim merupakan kesatuan rakyat aturan di bawah kecamatan yang terdiri atas campuran beberapa gampong yang memiliki batas wilayah eksklusif yang dipimpin sang imeum mukim atau nama lain & berkedudukan pribadi di bawah camat.?
Selain itu, mukim-gampong juga merupakan daerah yurisdiksi norma menjadi satu konsekuensi mukim-gampong menjadi wilayah istiadat. Peradilan tata cara tingkat gampong adalah peradilan istiadat tingkat pertama, sedangkan peradilan adat tingkat mukim merupakan peradilan taraf kedua & terakhir sekaligus (Pergub Aceh No.60/2013). Dalam konsepsi wilayah pemerintahan, mukim-gampong merupakan daerah otonom, wilayah administratif, wilayah kerja & wilayah norma sekaligus (lihat; Otonomi dan Wilayah Adat pada Aceh, Muhammad Taufik Abda, Serambi, 6/4/2015).
Kata kunci dalam penerapan UU Desa di Aceh --terutama pemerintah kabupaten/kota-- mesti merujuk ketentuan spesifik pada Penjelasan UU Desa yang menyatakan dalam menetapkan kebijakan tentang pengaturan Desa pada samping memperhatikan UU Desa juga (mesti) memperhatikan UUPA. Demikian jua halnya terkait ketentuan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), sebaiknya secara otomatis pribadi berkedudukan & berbasis daerah mukim, tidak perlu menciptakan lembaga baru lagi.
Jika kebijakan pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam melaksanakan kegiatan pendampingan desa (gampong), permanen dengan melupakan mukim, sama saja dengan mengembalikan ?Mimpi buruk? Keberadaan mukim selesainya berlakunya UU No.5 Tahun 1979 mengenai Pemerintahan Desa.
Akhirnya, kita berharap pendampingan desa dalam wilayah Aceh tidak mengabaikan ketentuan keistimewaan dan/atau kekhususan Aceh, termasuk mengabaikan kedudukan & interaksi mukim-gampong sebagai satu sistem pemerintahan istiadat. Dan kekhawatiran Sulaiman Tripa dalam tulisannya ?Senjakala Mukim? (Serambi, 24/6/2015) tidak menjadi fenomena. Semoga!
Muhammad Taufik Abda, Koordinator Forum Studi dan Advokasi Kebijakan Aceh (Forsaka). Email: mtaufikabda@yahoo.Com, Sumber: Serambi Indonesia, 8 Agustus 2015