Kepemimpinan Dalam Kerajaan Aceh

Kitab Undang-Undang Kerajaan Aceh yg dianggap "Qanun Meukuta Alam" atau lebih populer menggunakan sebutan "Qanun Al-Asyidanquot;, menyebutkan struktur kepemimpinan Kerajaan Aceh dulunya terdiri dari kepemimpinan Gampong, Mukim, Nanggroe, & Sagoe.

Kepemimpinan Gampong (sekarang setingkat Kelurahan), Mukim (Kepemimpinan setingkat taraf kecamatan), & Sagoe (kepemimpinan yang membawahi beberapa Nanggroe pada kerajaan, mungkin setingkat kepemimpinan Bupati kini . Struktur-struktur itulah yg mendasari kuatnya norma-adat masyarakat Aceh tempo dulu.

Kepemimpinan dalam taraf Gampong & Mukim di Aceh boleh katakan menjadi pondasi primer berdasarkan segi segala peraturan adat dalam menuntaskan banyak sekali masalah kemasyarakatan pada rakyat Aceh. Tetapi, dalam masa Orde Baru (Orba) sebutan Gampong pada Aceh sempat menghilang dalam masyarakat Aceh, lantaran mengalami penyeragaman oleh Pemerintah saat itu, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Pada waktu yang bersamaan, peran Geuchik (menjadi pimpinan ditingkat kampung) dan Mukim (menjadi pimpinan yang membawahi beberapa kampung) pada Aceh jua lenyap. Dengan tidak berfungsinya kiprah kepemimpinan Gampong dan Mukim, maka seluruh perangkat tata cara jua menghilang, seperti hilangnya peran Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujreun Blang, Peutua Seuneubok, Panglima Gle, Harian Peukan, Tuha Peut, dan Tuha Lapan.

Padahal semua perangkat-perangkat adat yg telah melembaga pada kehidupan rakyat Aceh, & terbukti bisa mengharmonisasikan kehidupan masyarakat Aceh pada segala lini kehidupan.

Tumbangnya era Orba, Indonesia memasuki era reformasi. Penyelenggaraan keistimewaan Aceh, pelan-pelang mulai diakui (UU No 44 Tahun 1999). Nama Gampong & Mukim yg sempat menghilang balik lagi diakui melalui UU No.18 Tahun 2001, namun dalam pelaksanaanya kewenangannya Geuchik & Mukim terkungkung sang kepemimpinan pemerintahan level diatasnya.

Pemda (Pemerintah Daerah) Provinsi Aceh, baru meresponnya pada tahun 2000 menggunakan dikeluarnya Peraturan Daerah No. 7/2000 mengenai Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Sedangkan perang Mukim diatur melalaui Qanun 4/2003, & perang Gampong melalui Qanun No. Lima Tahun 2013.

"Jika dibandingkan dengan Sumatera Barat, Aceh relatif lambat dalam merebut balik mengenai regulasi istiadat & keistimewaanya yg hilang pada masa Orba", padahal Gampong/Mukim dalam sejarah Aceh sudah terdapat dari tahun 913 H atau 1507 M, masa Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah.

Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat, yaitu menggunakan hilangnya sebutan Nagari. Padahal bagi orang Minangkabau, Nagari dipercaya sebagai indentitas, basis penghidupan dan basis swatantra dan demokrasi lokal yang mempunyai unit kewilayahan yg bernama Jorong (Gampong pada Aceh).

Namun, meskipun Nagari telah termarjinalkan selama puluhan tahun, tetapi ingatan dan ikatan orang Minangkabau terhadap Nagari masih sangat kuat. mereka terus mengkritik pada desa, momentum pun datang dengan keluarnya UU No. 22/1999. Sumbar pun kembali ke Nagari perda, dengan pernyataan pembukaan; "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah", "hukum agama mengatur, adat memakai, alam adalah guru bagi umat manusia". Mereka berasil mengabungkan Self Governing Community (otonomi asli berbasi adat) dan local self goverment (desentralisasi dari pemerintah).

*Dari berbagai referensi (Silahkan Download Buku Saku Desa)

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2