Adat Jaga Baynah

ADAT hanya dapat menjadi “pagar” penjaga baynah (harta warisan berupa tanah termasuk sumber daya yang ada di dalamnya-red) dari penjarahan --termasuk upaya penguasaan tanah dan kekayaan alam Aceh oleh pihak asing seperti pernah terjadi di beberapa daerah-- jika kekeliruan-kekeliruan pemaknaan adat selama ini berhasil dikoreksi terlebih dulu. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga kekeliruan pemahaman adat yang harus diluruskan. Pertama, adat adalah aturan tidak tertulis. Maka segala bentuk upaya komunitas menuliskannya dalam aturan gampong atau mukim menyebabkan gugurnya status adat pada aturan tersebut. Faktanya adat Aceh telah ditulis pertama sekali pada 1607, masa pemerintahan Iskandar Muda (Ito Takeshi, 1984).

Kedua, tata cara merupakan norma masa kemudian. Pandangan ini terjebak dalam makna etimologi (lughatan) dari istilah adat berdasarkan bahasa arab ?Adah bersinonim menggunakan ?Urf berarti kebiasaan. Penggunaan istilah adat di Aceh pada ungkapan istiadat bak phoe temeuruhom sudah wajib dipahami dalam makna terminologi (isthilahan). Mewakili sebuah konsep baru yang maknanya diproduksi di Aceh. Di tangan Aceh, Adat bisa dibagi setidaknya pada 5 cabang: norma menjadi sistem pemerintahan, norma sebagai sistem ekonomi, norma sebagai sistem aturan, tata cara menjadi sistem korelasi, & adat menjadi sistem seni.

Ketiga, adat hanya layak sebagai panduan hidup rakyat tradisional dan pedalaman, tidak relevan lagi buat masyarakat modern. Pandangan ini berkiprah dari penyempitan makna istiadat sebatas ritual & seremonial. Jika merujuk dalam prinsip istiadat ngon hukom lagee zat ngon sifeut (istiadat & syariat bagaikan zat dan sifat), atau ungkapan populer Tgk Chik Kutakarang dalam kitab Tadhkirad al-Radikin terkait kembarnya tata cara & hukom (Ibrahim Alfian, 1987), maka pandangan mengkadaluarsakan istiadat menurut kehidupan warga modern berimplikasi juga dalam pemahaman adanya keterbatasan relevansi hukom (syariat) pada ruang-saat eksklusif.

Dalam makna sesungguhnya, tata cara merupakan pelembagaan akhlak sosial pada sistem kehidupan rakyat Aceh yg dilakukan terus menerus tanpa batas saat. Aturan-aturan tata cara sangat mungkin berubah berdasarkan saat ke saat mengingat akhlak itu sendiri, istilah Taqi Misbah Yazdi (2006) mempunyai bagian yg mutlak dan nisbi sekaligus. Pada bagian yg nisbi akan terus berubah dari waktu ke waktu. Adat Aceh pun mengikuti pola tadi. Dengan kata lain, norma selalu dapat diproduksi terus menerus dalam ruang-saat masa sekarang dan masa depan. Adat bukan masa lalu. Apalagi masa kemudian yang baru ditemukan.

Sekarang tersisa satu pertanyaan penting, kemudian apa yg membedakan sebuah aturan norma menurut non-istiadat apabila diproduksi di masa depan? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengujian keadatannya secara isi dicermati apakah aturan-aturan tersebut adalah manifestasi berdasarkan akhlak sosial atau bukan. Pun begitu, ada cara lain yg lebih membantu. Dengan menciptakan rumusan akal apa sebenarnya yang tersembunyi pada belakang aturan-aturan norma. Saya menemukan lima nalar dasar yang bekerja di belakang aturan tata cara, yaitu kolektifisme (komunalisme), persandingan (bukan kompetisi), mengejar perdamaian (keharmonisan), memastikan penghidupan berkelanjutan (mengurangi risiko bencana dalam arti luas), & spiritualisme (melihat segala sesuatu di alam semesta memiliki jiwa-batin).

Adat berdaulat

Rumusan penalaran dasar yang bekerja pada norma sangat membantu. Bukan hanya buat membedakan anggaran-aturan tata cara menurut non-istiadat. Terlebih lagi membantu kita membedakan berbagai varian mazhab-mazhab gerakan norma yg saat ini beroperasi di Aceh. Saya membagi varian gerakan tata cara di Aceh ke dalam empat bentuk & tidak seluruh varian norma bisa diandalkan buat menjaga & mengelola asal daya alam Aceh.

Pertama, tata cara feodal. Gerakan ini buat membangkitkan balik kekuasaan kaum bangsawan lama atau setidak-tidaknya merebut ruang berperan lebih akbar. Kaum bangsawan melihat kesempatan baru kembali ke anjung kekuasaan dalam arus kebangkitan tata cara pada era otonomi khusus Aceh. Konsolidasi famili bangsawan mulai dilakukan melalui pembentukan Forum Silaturahmi Keraton Nusantara wilayah Aceh.

Kedua, tata cara ritual. Sebagian elite ikut mencurahkan perhatian dalam gerak revitalisasi tata cara pada Aceh belakangan ini. Bagi gerombolan norma ritual paradigma yang dipakai adalah pelestarian istiadat (regresif). Mereka mementingkan tata cara tata cara terkait tata tertib (protap) upacara-upacara & kenduri-kenduri yg dipraktekan dalam sejarah Aceh. Membuat poly pembinaan buat seumapa (pembacaan pantun pada seremonial tertentu). Paling jauh, ikut serta mengurus, memperbincangkan, & membuat panduan tata tertib peradilan istiadat.

Ketiga, norma dominasi. Kelompok ini memakai norma buat menciptakan dan menjaga kekuasaaan atau dominasinya pada Aceh. Mereka berhasil membangun gelar ?Paduka yg mulia? Buat pemimpin adatnya. Dana publik dalam jumlah besar dihabiskan buat menciptakan istana, simbol kekuasaan norma. Varian ini nir mempunyai imajinasi mengenai masa depan tata cara. Satu-satunya yang krusial dari istiadat merupakan efektivitasnya dieksploitasi buat kepentingan kekuasaan. Jika sanggup, buat kekuasaan tanpa batas dan seumur hidup.

Keempat, norma berdaulat. Masyarakat mukim-gampong menggunakan istiadat mereka buat mengelola diri dan sumber dayanya (self-governing). Saat yg sama istiadat sebagai benteng masyarakat membela diri berhadapan menggunakan kapitalisme primitif yg menargetkan dominasi seluas-luasnya dan sebesar-banyaknya sumberdaya alam Aceh, termasuk tanah adat (harta bersama).

Harta tata cara memiliki dua jenis: Pertama, harta istiadat yg sama sekali nir boleh dimiliki secara eksklusif selama-lamanya, akan tetapi setiap masyarakat mukim dapat mengaksesnya. Harta istiadat jenis ini termasuk pantai, bahari, dan sungai. Kedua, harta norma yg kepemilikinannya sang publik, pengelolaannya dilakukan secara perorangan. Dalam tempo saat tertentu bila pengelolaannya dilakukan berkesinambungan dapat mengubah status kepemilikan dari publik ke perorangan. Jenis harta adat ke 2 ini merupakan hutan, yang sanggup diubah sebagai seunebok (kebun) & blang (sawah).

Meskipun dapat diubah berdasarkan kepemilikan publik ke perorangan, tetapi ada aturan tata cara tentang batasan atau luasan yang diperbolehkan. Para pemilik kapital yang ingin merogoh harta tata cara itu ratusan dan ribuan hektare, tidaklah dibenarkan oleh hukum norma. Hukum adat tentang harta beserta memastikan aset dasar menyangkut hajat orang banyak seperti tanah, dapat terdistribusi secara merata dan tidak bisa dimonopoli. Tentu saja, buat menjaga kekayaan alam Aceh dalam berbagai bentuk baynah yang diwariskan kepada kita, aturan adat satu-satunya kekuatan masyarakat yg bisa diandalkan dalam ketika ini. Nah!

Affan Ramli, Pengajar Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: fan.syatariah@gmail.com (Sumber: Serambi Indonesia)

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2