Desa dalam Rezim Pemerintahan

Seraya membuka pintu calon kepala desa menurut luar wilayah, Mahkamah Konstitusi menegaskan desa sebagai mata rantai terbawah rezim pemerintahan. Tafsir MK ini condong kepada kerangka berpikir local self-government ketimbang self-governing community sebagaimana termaktub dalam penerangan UU No 6/2014 mengenai Desa.

Ilustrasi
Tindak lanjut putusan MK dalam edaran Kemendagri terfokus pada kebebasan calon luar dalam pemilihan kepala desa. Ini tidak memadai karena MK menorehkan yurisprudensi tata kelola desa masuk hierarki pemerintahan. Guna mengantisipasi efek negatif birokratisasi atas ke bawah ini, deliberasi politik harus dikembangkan sampai ke desa.

Putusan MK

Sejak 1970-an, percepatan kemajuan desa dilumasi pihak luar, seperti pedagang dan penyuluh lapangan. Migran berasal desa juga mengobarkan pembaruan. Inilah basis sosiologis saat MK menganulir Pasal 50 UU No 6/2014. Mulai 23 Agustus 2016, peserta pilkades boleh berdasarkan luar desa.

Di sisi seberang, putusan MK membuka peluang calon titipan pejabat kabupaten, provinsi, atau sentra. Apalagi, pencitraan calon baru pada 4.000-an pemilih di daerah sesempit desa mudah disusun selama dua-tiga bulan.

Ini melengkapi perkara campur tangan pemerintah daerah dalam pilkades. Pengunduran saat pilkades membuka hak bupati menempatkan aparat kabupaten menjadi pejabat ad interim kepala desa.

Taktik ini memastikan kepentingan kabupaten dijalankan desa, akan tetapi pada 2015 sempat menggagalkan pencairan dana desa (DD). Musababnya, pejabat ad interim dilarang meresmikan planning pembangunan jangka menengah desa, serta anggaran pendapatan & belanja desa. Padahal, ke 2 dokumen sebagai kondisi pencairan DD.

Menjelang pemilihan ketua wilayah (pilkada), gula-gula disalurkan ke desa, tapi ditarik kembali setelah ketua daerah terpilih. Nurul Syaspri Akhdiyanti (2015) mencatat, alokasi dana desa (ADD) menurut kabupaten dan provinsi melonjak menjelang pilkada, tapi menguncup 2 tahun berikutnya. Penerbitan peraturan bupati menjadi landasan legal pencairan DD jua sempat dipadati citra perhatian petahana pada desa.

Intervensi pemerintah pada politik desa bermula berdasarkan manipulasi kajian Clifford Geertz (1965), kala menemukan elite bersama rakyat desa masa bodoa (pasif) terhadap politik. Pemerintahan Soeharto menyucikan ruang kosong massa mengambang itu berdasarkan partai politik, akan tetapi memenuhinya menggunakan kader politik pemerintah penggerak teritorial desa.

Selama masa reformasi, pendamping ganti menguasai desa melalui seleksi akses asal daya pembangunan.

Agar udara politik desa pulang sehat, strategi pelambatan pilkades, ADD, dan DD harus dicegah melalui batasan waktu penyusunan turunan peraturan pada wilayah. Apabila pemerintah daerah nir mengatur hingga periode eksklusif, maka otomatis berlaku anggaran pemerintah sentra. Adapun pencitraan calon kepala desa bisa dilunturkan melalui luberan informasi berdasarkan aneka macam media, sebagai akibatnya masyarakat berkesempatan membanding data yg satu dengan lainnya.

Deliberasi pemerintahan

MK mengonstruksi desa jadi kepanjangan tangan terbawah fungsi-fungsi resmi pemerintahan negara. Pemerintahan desa tidak lagi terpisahkan menurut sistem pemerintahan Indonesia. Satuan pemerintahan desa berkedudukan menjadi unit terbawah organisasi pemerintahan daerah.

Konstruksi sah itu memusat pada kiprah Kemendagri sebagai poros pemerintahan dari sentra sampai daerah dan ketua instansi teknis secara horizontal. Sayang, realitasnya sulit dilaksanakan lantaran semenjak 2014 berdiri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, & Transmigrasi. Sisa permasalahan antarkementerian masih menyisakan paradoks: Kemendagri berwenang atas 19 aspek penataan desa, tapi pendanaannya sepersepuluh Kemendesa PDTT yang mengelola 3 kewenangan saja.

Kerja sama antar kementerian primer penataan desa terhalang posisi pada kementerian ketua dan komisi legislatif yg berlainan. Sebenarnya, rapikan naskah tiap kementerian menyajikan celah koordinasi, yaitu semua aturan penataan desa disusun balik menjadi peraturan bersama Mendagri, Mendesa PDTT, Menkeu, dan Bappenas. Alternatifnya, memutuskan peraturan presiden bagi 22 urusan penataan desa sebagaimana tercantum pada PP No 47/2015.

Mengikuti konstruksi MK tentang posisi desa, harmonisasi anggaran wajib dikaitkan dengan peran pemerintah provinsi & kabupaten. Sesuai UU No 6/2014, peraturan bersama menteri atau peraturan presiden wajib memastikan pemerintah daerah memenuhi hak desa atas status hukum, pencairan DD & ADD, pilkades, dan pembangunan pedesaan.

Agar penguatan pemerintahan desa tak biarkan warga , keputusan yg berkonsekuensi dalam aset desa & kesejahteraan masyarakat wajib dimusyawarahkan beserta rakyat. Norma yang diacu ialah partisipasi masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh: IVANOVICH AGUSTA, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor

Sumber: Kompas cetak, 26 Oktober 2016

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2