BPD, Lembaga Demokrasi Desa yang Terlupakan

Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan.

Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6/2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yg berdikari, yaitu suatu entitas yg dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan buat menyelenggarakan pemerintahan desa yg didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dimana warga desa mempunyai kedudukan yg setara menggunakan pemerintah desa pada penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Dalam konteks ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi penting karena keberadaannya menjadi representasi warga desa.

Demokrasi desa sendiri sejatinya sudah diafirmasi sejak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UU No. 22/1999. Didorong sang semangat mengevaluasi pemerintahan Orde Baru yg cenderung sentralistik, UU No. 22/1999 mengusung penguatan tatakelola pemerintahan lokal melalui prinsip demokrasi, termasuk pemerintahan Desa pada dalamnya. Dalam konteks itulah lalu UU No. 22/1999 memandatkan pembentukan Badan Perwakilan Desa yg menjalankan fungsi menjadi parlemen desa.

Di masa Orde Baru, dimana Desa diposisikan sebagai perpanjangan administrasi pemerintah pusat, bisa dipastikan nir tumbuh demokrasi pada level desa. Berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah desa tidak lain didasarkan sepenuhnya dalam instruksi dari Pemerintah Pusat. Meskipun sebenarnya dalam saat itu di desa terdapat forum serupa BPD yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagaimana dimandatkan sang UU No. Lima/1979, tetapi sebagaimana yang terjadi pada parlemen pada level nasional, LMD pun sebagai lembaga demokrasi yg semu.

Keberadaan dan fungsi Badan Perwakilan Desa permanen dipertahankan setelah UU No. 22/1999 diganti sebagai UU No. 32/2004, meskipun secara harfiah mengalami perubahan sebutan sebagai Badan Permusyawaratan Desa. Sebutan ini tetap dipertahankan di bawah pengaturan UU Desa kini ini. Mengingat keberadaannya yg sudah relatif lama , semestinya BPD telah menjadi forum yang relatif mapan dalam memperkuat proses demokrasi pada desa. Terlebih setelah diperkuat secara normatif oleh UU Desa, BPD semestinya sebagai poinir pada mendorong kemandirian desa sebagaimana yg dikehendaki oleh UU Desa.

Kurang Optimal BPD Menjalankan Fungsinya

Namun di sisi lain, meskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap dua desa masing-masing di kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, menurut UU Desa BPD memiliki tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Penelitian PATTIRO menunjukkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.

Dalam kegunaannya sebagai pihak yg membahas & menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD nir lebih agresif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan bisa saja diajukan oleh BPD tetapi dalam kenyataannya lebih acapkali rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada perkara yg lain, rancangan Perdes yg telah dirumuskan & diajukan sang Kepala Desa gagal disahkan karena BPD nir kunjung membahasnya. Kondisi ini mengakibatkan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Aanggaran Pendapatan & Belanja Desa (APBDes) & Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Dalam hal menampung aspirasi warga , BPD masih kurang menerima kepercayaan dari masyarakat. Ini dapat dicermati dari kesamaan masyarakat desa yg lebih menentukan mengungkapkan aspirasinya kepada orang yg dipercaya dekat secara kekuasaan dengan ketua desa, dengan harapan bahwa orang tadi akan menyampaikannya pribadi pada ketua desa. Ada jua rakyat yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Panggungharjo, justru aspirasi rakyat disampaikan pada para penarik sampah yang mendatangi tempat tinggal penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yg bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tadi memang sengaja ditugaskan sang Pemerintah Desa buat menjalankan kiprah sebagai wakil desa buat menampung aspirasi dan masalah masyarakat. Menurut ketua desa Panggungharjo, melalui prosedur semacam ini pemerintah desa pernah mengatasi perkara masyarakat yang terjerat rentenir.

Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban pada bupati cenderung dianggap penting ketimbang pada BPD, lantaran menduga laporan pada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dari data yang ada terungkap bahwa interaksi antara BPD & Pemdes cenderung ?Harmonis?, nir ada suatu wacana kritis yg dikedepankan oleh BPD pada konteks penyelenggaraan pemerintahan desa. Kantor BPD sendiri kebanyakan merupakan bagian dari tempat kerja pemerintah desa. Memang pernah diakui sang BPD, bahwa pihaknya melakukan pengawasan, tetapi dalam hal ini supervisi yang dilakukan merupakan berupa pengecekan terhadap proses pengerjaan pembangunan fisik, bukan pengawasan yang bersifat komprehensif terkait menggunakan spesifikasi material dengan dokumen perencanaan misalnya. Kalaupun ini dapat diklaim sebagai menjalankan peran pengawasan, pengawasan yg dilakukan masih terbilang kurang substantif, karena tidak melakukan supervisi terhadap kinerja ketua desa secara holistik.

Dalam masalah yg lain, yakni dalam hal menangkap rekomendasi, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Kasus ketua desa Berumbung pada waktu hendak membentuk gedung rendezvous menurut dana ADD, supaya tidak terkena anggaran tender harus diturunkan dananya pada bawah Rp 200 juta, wajib konsultasi dengan BPMD Kabupaten. Pembangunan dijalankan sehabis mendapatkan rekomendasi menurut BPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan peran kontrol pemerintahan desa nir dimintakan rekomendasi.

Masalah yg Dihadapi

Lemahnya fungsi BPD pada penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu prosedur check and balances, sehingga dalam gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih secara umum dikuasai. Dominasi pemerintah desa ini lambat laun akan menggulung peran dan partisipasi warga desa, yang pada akhirnya akan memperlemah proses demokrasi di tingkat desa.

Terkait menggunakan kurang optimalnya fungsi BPD tadi, kami mengindentifikasi beberapa kasus menjadi berikut. Pertama, lemahnya pengorganisasian. Sebagai sebuah forum, BPD nir dikelola melalui prosedur pengorganisasian yang baik. Dari pengamatan yang paling sederhana saja, hampir nir ditemukan skema tentang struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja secara sembarangan. Dari holistik BPD yg diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja menurut anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yg aktif hanya ketuanya saja. Di desa yg lain, ada keliru satu anggota BPD yang nir aktif sampai enam bulan, tetapi tidak ada upaya secara kelembagaan buat mengatasi perkara tersebut.

Kedua, nihil dukungan staf dan kesekretariatan. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD jua lantaran secara kelembagaan BPD nir didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan mengakibatkan BPD nir dikelola secara baik menjadi sebuah lembaga. Hal ini tidak sinkron menggunakan pemerintah desa yg memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk dukungan staf dan kesekretariatan. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa skema struktur Pemerintah Desa digambarkan secara kentara, dimana Pemerintah Desa didukung menggunakan Sekretariat Desa yg diketuai sang Sekretaris Desa yg membawahi para Kepala Urusan.

Ketiga, hak bagi anggota BPD yang samar-samar. Isu yang mengemuka dalam kajian ini jua termasuk hal yg terkait menggunakan hak anggota BPD. Muncul pendapat yg mengemuka yang beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yg diterima sang kepala desa. Meskipun sebenarnya banyak hak yang seharusnya diterima sang BPD, namun pada praktiknya hak-hak tadi belum sepenuhnya diterima. Peraturan Pemerintah No. 43/2014 sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47/2015 (PP Desa), pada pasal 78 diatur bahwa pimpinan dan anggota BPD menerima hak buat memperoleh tunjangan aplikasi tugas & fungsi dan tunjangan lain sinkron menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan training, pengenalan, pembimbingan teknis, & kunjungan lapangan dan penghargaan berdasarkan pemerintah daerah provinsi, & pemerintah daerah kabupaten/kota bagi pimpinan & anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur sang PP tersebut, baru hanya tunjangan tugas dan fungsi saja yang sudah diberikan. Itupun dengan jumlah yang nir menentu.

Keempat, minim kapasitas personal. Secara individual, anggota BPD tampak kurang memiliki kapasitas yg memadai terkait pribadi menggunakan manfaatnya. Sebut saja contohnya, pada kegunaannya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan dalam bidang sah drafting. Tetapi pada kenyataannya, hampir dapat dipastikan bahwa sebagian akbar anggota BPD nir mempunyai kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak dari berdasarkan ketua desa. Dalam hal supervisi kepala desa, poly anggota BPD yg kurang memahami konsep supervisi yang sesungguhnya, sehingga yg dilakukan hanyalah supervisi secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Pada hal yang paling fundamental, poly pula ditemui anggota BPD yg kurang cakap dalam berkomunikasi. Padahal sebagai penyalur aspirasi warga , anggota BPD semestinya mempunyai kemampuan komunikasi yg mumpuni, bahkan sampai dalam taraf dapat menghipnotis orang lain.

Akar Masalah

Dari holistik duduk perkara tadi, akar masalah yg dapat ditarik merupakan karena secara normatif, belum ada peraturan turunan yang mengatur secara khusus mengenai BPD. Dapat disampaikan di sini bahwa berdasarkan holistik hal yang terkait menggunakan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk forum yg belum memiliki anggaran turunan secara spesifik, terutama aturan di tingkat lokal misalnya Peraturan Daerah, SK Bupati/Walikota dan aturan sejenisnya. Ketiadaan aturan inilah yang mengakibatkan BPD merasa kurang mempunyai acuan kentara. Ketiadaan aturan pada tingkat lokal mampu jadi lantaran belum terdapat peraturan yang seharusnya diterbitkan sang Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana diatur pada PP Desa pasal 79, Kementerian Dalam Negeri seharusnya menerbitkan peraturan buat mengatur lebih lanjut ketentuan tentang tugas, fungsi, kewenangan, hak & kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Tetapi hingga sekarang peraturan sebagaimana dimaksud belum terbit.

Aturan turunan sebagaimana dimaksud merupakan aturan lokal berupa Peraturan Daerah. Tetapi pada sisi lain, pemerintah kabupaten/kota sulit buat menerbitkannya lantaran mandat penerbitan peraturan menteri belum diterbitkan sang Kemendagri. Ketiadaan Permendagri tentang BPD menciptakan BPD menjadi lembaga demokrasi yang terlupakan.[Sumber:datadesa.Com]

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2