Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dari Desa
Dana desa sebagaimana yang diamanatkan pada UU No. 6 Tahun 2014 mengenai Desa, sebagai ?Angin segar? Bagi warga desa buat menggiatkan pembangunan desa agar ketimpangannya menggunakan kota sebagai lebih sempit. Komitmen pemerintah buat menciptakan Indonesia dari pinggiran diaktualisasikan menggunakan menganggarkan dana desa dalam APBNP-2015 sebesar Rp20,7 triliun untuk dibagikan pada 74.093 desa. Jumlah dana desa yang diterima kabupaten/kota bervariasi, menggunakan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Dalam pasal 72 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa dana desa merupakan galat satu menurut beberapa asal pendapatan desa. Sumber pendapatan desa lainnya bisa dari berdasarkan Pendapatan Asli Desa (PADes) misalnya pendapatan menurut output bisnis, output aset, swadaya warga , gotong royong, dan lain-lain; ADD (Alokasi Dana Desa) yang bersasal berdasarkan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; hibah dan sumbangan yg tidak mengikat menurut pihak ketiga dan lain-lain pendapatan desa yg absah. Untuk itu, pemerintah desa harusnya bisa mempertinggi kesejahteraan rakyat desa asalkan sumber pendanaan tadi dipakai untuk belanja program-acara pembangunan desa yang tepat.
Berkaitan dengan belanja desa, pada Pasal 74 UU No. 6 Tahun 2014 mengenai Desa disebutkan bahwa belanja desa diprioritaskan buat memenuhi kebutuhan pembangunan desa yg disepakati dalam Musyawarah Desa & sinkron menggunakan prioritas pemerintah wilayah & pusat. Belanja pembangunan desa tersebut tidak terbatas pada kebutuhan utama & pelayanan dasar saja, tetapi juga buat kegiatan pemberdayaan rakyat desa.
Dengan demikian belanja desa dapat membiayai kegiatan-aktivitas sepanjang buat menaikkan pendapatan warga desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Jumlah dana desa yg diberikan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara homogen-rata satu desa dalam tahun 2015 memperoleh dana desa sebanyak Rp300 juta.
Tahun 2016, dana desa akan meningkat menjadi Rp700 juta perdesa. Ditambah menggunakan ADD, pemerintah desa akan memperoleh pendapatan sampai Rp1 miliar sampai Rp1,dua miliar. Apabila pemanfaatan dana sebesar ini nir optimal, maka tujuan buat meningkatkan kesejahteraan warga desa sangat mungkin tidak terwujud. Apalagi bila sumber dana yang besar tersebut diselewengkan.
Untuk mencairkan dana desa, ada beberapa tahapan yg wajib dilakukan. Pertama, wilayah (kabupaten/kota) wajib bisa memenuhi 2 (2) syarat yaitu: (1) Pemerintah kabupaten/kota telah membuat perda (Perda) tentang APBD kabupaten/kota yg sudah dinilai & disahkan sang Gubernur yang pada dalamnya memuat pos aturan dana desa yg asal dari APBN; (dua) Peraturan Bupati/Walikota tentang rincian dana desa buat setiap desa pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
Kedua, setelah dana desa masuk ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah), dana desa akan dapat dicairkan ke Rekening Kas Desa (RKD) jika desa telah menyiapkan peraturan desa tentang APBDes (Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa). Mekanisme pencairan yang cukup banyak dan panjang, mengakibatkan tidak semua desa dapat mencairkan dana desanya tahun ini. Penyaluran dana desa menjadi terkendala di sejumlah daerah, akibat pemda terlambat membuat perda yang disyaratkan.
Selain itu, dana desa yg telah tersimpan di kas daerah terkendala pencairannya ke rekening desa akibat penyediaan dokumen pendukung oleh pemerintah desa. Ketidaksiapan dalam penyiapan dokumen ini bersumber berdasarkan ketidakmampuan aparatur desa buat menyusun dokumen yang disyaratkan.
Kekhawatiran ini tampaknya terjadi. Hingga Oktober 2015, Kementerian Desa menginformasikan bahwa 80,0 persen dana desa (Rp16,09 triliun) telah masuk ke RKUD. Namun, pencairan ke RKD baru mencapai 53,05 % (Rp8,53 triliun) saja.
Kalaupun dana desa telah cair ke RKD, kasus lain yg berpotensi buat mencuat adalah kesalahan dalam menyusun anggaran & penyelewengannya. Persoalannya bukan semata lemahnya SDM dalam mengelola peruntukan dana desa, melainkan juga ketidaksiapan mental aparat desa.
Untuk menghadapi mentalitas koruptif aparat desa, perlu diberikan sejumlah acara pembangunan kapasitas seperti pembinaan aparatur & pula pengawasan yg mempersempit ruang bagi tindak penyalahgunaan menggunakan memperkuat pendampingan & pengawalan pengelolaan dana desa secara sistemik.
Untuk menjamin transparansi penggunaan dana desa, pemerintah dapat melakukan sejumlah taktik. Pertama, memberdayakan kembali tenaga pendamping yang pernah mendukung acara Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Tenaga pendamping PNPM terbukti berhasil dalam mengawasi penggunaan dana pembangunan perdesaan, menggunakan menekan kebocoran dana sampai 0,1 %.
Berdasarkan catatan Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI), PNPM sudah memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), menyerap 11 juta energi kerja, dengan tingkat partisipasi masyarakat desa mencapai 60 persen dan 48 % antara lain perempuan . PNPM juga telah menaikkan modal sosial berupa gotong-royong dan swadaya rakyat, serta mendorong efisiensi aplikasi aktivitas swakelola oleh gerombolan rakyat.
Kedua, acara pembangunan desa yang diajukan merupakan hasil musyawarah desa yg kemudian wajib diumumkan secara transparan menggunaan papan pengumuman yang diletakkan di depan tempat kerja ketua desa.
Dengan begitu, rakyat terlibat secara langsung mengawasi penggunaan dana desa. Sebagai indikator keberhasilan, aparatur desa jua harus mengumumkan capaian perubahan kesejahteraan rakyat desa selesainya dilaksanakannya acara-program yg memakai dana desa.
Sebagai epilog, menggunakan aturan desa yg terus semakin tinggi, pemerintah desa dibutuhkan bisa menyebarkan kualitas SDM dan kesejahteraan masyarakatnya. Cita-cita tadi akan lebih cepat terwujud, bila didukung sang integritas, ciptaan & penemuan aparatur desa dalam menjalankan ?Roda? Pemerintahan desa. Dengan demikian, dana desa akan cepat membawa perubahan ke arah yg lebih baik & akhirnya meningkatnya kesejahteraan warga desa.
Oleh Wahyu Ario Pratomo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU, Ekonom Regional Kementerian Keuangan RI Wilayah Sumatera Utara. (Sumber: Media Keuangan Kemenkeu)
Foto ilustrasi GRT