Menggugat Demokratisasi Desa

Seorang calon Keuchik (Kepala Desa) Glee Bruk, Aceh Besar dilaporkan pingsan saat perhitungan bunyi. Awalnya diduga dampak kalah suara menurut rivalnya. Sehari lalu diklarifikasi oleh Camat setempat, jatuh kelenger itu akibat kurang sehat, bukan karena kalah pada pemilihan (Serambi, 26/10/2015). Namun ceritanya tidak berhenti di sana, pemilihan Keuchik Desa Glee Bruek itu disengketakan sang kedua kubu yang bertarung. Diduga galat satu atau keduanya memakai ijazah palsu.

Menggugat Demokratisasi Desa/Ilustrasi
Pemilihan Keuchik oleh rakyat gampong (istilah Aceh untuk desa) sudah jadi tradisi ratusan tahun, tetapi gugat menggugat dan menyengketakan hasil pemilihan mulai dipraktekan di banyak tempat baru akhir-akhir ini. Sekira lebih kurang satu dekade belakangan. Fenomena baru ini mempertanyakan ulang pandangan kita tentang gampong.

Gampong di Aceh sekian lama ditinjau sebagai keluarga besar . Layaknya sebuah keluarga, pemimpin gampong ditinjau sebagai orangtua beserta bagi seluruh warganya. Sehingga Keuchik diumpamakan sebagai ayah dan tengku meunasah (jabatan adat buat ulama taraf desa) diibaratkan sebagai mak (Alfian: 1987). Itu sebabnya Kanun Syarak Kesultanan Aceh tetapkan salah satu syarat menjadi calon Keuchik merupakan tidak memiliki musuh pada pada gampong (Sani, 2005).

Apa gerangan yang membarui politik gampong jadi penuh konkurensi ala Pilkada? Jawaban sederhana kita akan melemparkan asal masalahnya dalam partai politik. Selama ini Parpol sudah berhasil mengajarkan masyarakat gampong cara berpolitik penuh persaingan dan permusuhan. Singkatnya, ini hanyalah penularan berdasarkan perangai politik partai ke gampong-gampong. Penyederhanaan ini lumrah, mengingat para pemain politik di gampong-gampong sebagian besarnya jua anggota atau pengurus partai politik eksklusif.

Bagi aku , masalahnya nir sepermukaan itu. Akarnya tertanam jauh pada nalar individualisme yg mulai dimenangkan sejak gagasan demokrasi mendominasi warga . Sejarah demokrasi terbaru memang dilahirkan pada atas fondasi pemikiran otonomi seluas-luasnya pada individu. Komunalisme gampong sulit dapat bertahan berhadapan dengan individualisme demokrasi. Dalam demokrasi, berpolitik bermakna memenangkan kepentingan-kepentingan yang dibela individu-individu warga ke pada pusaran kekuasaan yang menentukan hayati mereka.

Individualisme sebagai kelanjutan berdasarkan eksistensialisme mengabaikan adanya konsep kebaikan (husnu wa qubhu atau khair wa syar) yg lebih fundamental dibandingkan keberadaan kepentingan (interest).

Dengan istilah lain, fundamentalitas kepentingan merupakan titik awal menggugat politik adat gampong. Supremasi kepentingan menggeser cara pandang asasi warga kita bahwa berpolitik bukan membela kepentingan tanpa basis pembuktian kebaikan. Cara pandang ini mempertanyakan konsep tuha-tuha (sebutan buat petua istiadat) gampong yg dilihat menjadi orang tua bersama yang mengklaim pengelolaan urusan publik & harta publik untuk memenangkan kebaikan beserta. Bagi demokrasi terkini, proposisi-proposisi ini terdengar sangat hayali. Ada di alam fantasi, tidak terdapat pada alam nyata.

Satu-satunya yg ada merupakan kepentingan & irisan kepentingan-kepentingan individu akan membangun kepentingan bersama sebuah grup politik. Di mana kehadiran gerombolan lain yang tiba dengan kepentingan antagonis akan dicermati dan diperlakukan sebagai saingan, versus, dan musuh politik. Konsolidasi kepentingan-kepentingan politik itu pada daerah nasional (pusat, provinsi, kabupaten/kota) dilakukan melalui partai politik dan di wilayah norma (mukim dan gampong) melalui gerombolan -kelompok politik independen.

Dalam politik demokrasi, identitas kita adalah seseorang atau rakyat (individu). Identitas-bukti diri lain seperti anak, ponakan, paman, ayah, mak , kakek, nenek, cucu, pengajar, anak didik & lainnya yang dibangun menurut banyak sekali relasi sosial seluruh sirna. Seluruh identitas lain itu dipakai sejauh menguntungkan usaha memenangkan perseteruan, saja!

UU Desa

Partai politik telah lama menganut cara pandang ini & bekerja dengan nalar ini. Tuha-tuha gampong baru saja memulainya. Suatu tanda bahwa rencana reformasi sudah menjadikan output, pada mana gelombang demokratisasi mulai masuk ke daerah istiadat terkecil di Aceh, gampong-gampong. Sialnya kita, arus demokratisasi gampong?Atau kata yang dipakai Kementerian Desa, Transmigrasi & Daerah Tertinggal, demokratisasi desa?Menerima dukungan bertenaga Undang-Undang no 6 tahun 2014 tentang Desa. Dimana istilah demokrasi diulang sebanyak enam kali, yaitu pada pasal tiga, pasal 26, pasal 38, pasal 58, pasal 63, dan pasal 67.

Itu adalah, perhelatan-perhelatan politik pada gampong pada berbagai bentuk meskipun adalah praktik usang pada tamadun Aceh, sekarang harus dibalut dalam kemasan baru yang mulai dibiasakan pada pengecap warga , yakni demokrasi. Masalahnya gagasan ini bukan sebatas bungkus, beliau membawa serta segenap prinsip, pandangan dunia, dan perangkat lengkap pada dalamnya. Sebuah tindakan bersama misalnya pemilihan Keuchik meskipun hanyalah pengulangan dari kebiasaan ratusan tahun kini akan dipahami dan dilakukan menggunakan cara berbeda di bawah payung demokrasi. Di antaranya kesiapan setiap kubu menyengketakan output pemilihan raya taraf desa.

Demokrasi, suatu gagasan yang sebenarnya nir direkomendasikan oleh Al Farabi & cendikia muslim terdahulu, tetapi diterima begitu saja oleh kaum terdidik, sarjana, & cendikia kita waktu ini. Sepertinya, menerima konsep negara-bangsa bagi kaum terdidik kita telah menutup seluruh opsi lainnya di atas meja, yang tersisa dan wajib dipilih menjadi konsekuensinya merupakan politik demokrasi & ekonomi kapitalisme. Memang, kebangsaan (nasionalisme), demokrasi, & kapitalisme adalah 3 serangkai yang nir mungkin dipisahkan. Ketiganya rukun atau tiang-tiang primer negara modern. Meski Hatta berani menentukan ekonomi koperasi melawan kapitalisme, namun beliau tidak berani mengajukan sistem politik selain demokrasi. Paling banter, ia berbagi sebuah gagasan ?Demokrasi orisinil? Nusantara yang coba diabstraktasikan menurut praktik-praktik tata cara minang.

Jika kita hendak mendiskusikan ulang tiang-tiang utama negara terkini ini, kita harus beranjak selangkah lagi. Kita wajib berani memasuki pascanasionalisme atau pasca negara-bangsa. Setidaknya atas nama otak manusia yang terus berkembang, mestinya sebuah gagasan yang telah berusia berabad, misalnya negara-bangsa memang telah waktunya dipertanyakan ulang. Ditambah lagi, bangsa secara ontologis memang tidak faktual. Itu hanya konsep opinian dan kesepakatan , sebuah komunitas yg diimajinasikan terdapat (imagined community). Diperkuat lagi sang warta gagasan nasionalisme sudah nir berguna, ketika solidaritas nasional tidak terlihat lagi wujudnya pada cara kita hidup pada negara ini.

Nasionalisme kita sekarang selalu harus diterjemahkan sinkron kepentingan kekuatan pemodal, elit-elit politik dan elit militer yg mengabdikan pelayanannya kepada majikan kuasa pasar. Nasionalisme pejabat negara kita & pemimpin militer kita merupakan nasionalisme menggusur para petani dari tanahnya atau menangkap warga desa yg bekerja pada tanah tata cara lantaran lahan-huma itu sudah dalam klaim daerah perusahaan-perusahaan swasta.

Adatokrasi

Akumulasi itu seluruh relatif memberi kita alasan meneruskan perjalanan gagasan bernegara. Negara ini telah waktunya menggantikan doktrinnya dari negara-bangsa sebagai negara-tanah air. Gagasan negara-tanah air berangkat berdasarkan proposisi-proposisi yang lebih kentara verifikasi keilmiahannya, secara filosofis & realitas. Mengingat tanah air secara ontologis berwujud, nyata dan faktual bukan di alam khayalan. Ada di alam eksternal yg independen. Komunitas gampong hidup menyebarkan dan berinteraksi menggunakan tanah & air yg sama diantara mereka.

Tidaklah penting etnik-etnik apa saja, marga-marga apa saja, suku-suku apa saja, & ras apa saja yg hidup pada sebuah komunitas desa, mereka mengurus diri mereka dan urusan-urusan bersama mereka berbasis pola & contoh interaksi dan distribusi aset kehidupan bersama. Solidaritas tanah air sangatlah jelas & terperinci. Membandingkannya menggunakan solidaritas nasional misalnya membandingkan cahaya & kegelapan.

Setidak-tidaknya dalam daerah istiadat pada Indonesia, doktrin bernegara kita harus berbasis negara-tanahair. Negara yg dibangun berbasis ikatan sosial, politik, ekonomi kawasan tanah & air yang sama. Negara-tanahair tidak menganut sistem demokrasi (kekuasaan masyarakat) yg sesungguhnya cuma topeng sutra korporatokrasi (kekuasaan pemodal). Konsep politik negara-tanah air adalah adatokrasi, yaitu supremasi kuasa rakyat berakal budi yg tidak terbeli. Dalam konteks tamadun Aceh, adatokrasi mampu dianggap ?Pemerintahan tuha masyarakat,? Bukan sekedar pemerintahan rakyat.

Sistem adatokrasi adalah sistem yg memastikan para pemimpin harus dipilih dari warga yang berkualitas tuha. Tuha dalam terma politik Aceh lebih dekat pada konsepal hakim yg dilekatkan pada seorang berpengetahuan, bijak & berintegritas moral asal Syria, Lukman. Direkam pada Quran secara panjang lebar pada cerita legenda Lukman Alhakim. Dalam kajian filsafat politik, adatokrasi dibangun di atas ajaran ?Otoritas tuha? (wilayatul hakim).

Filsuf belia Iran, Muhsen Qarawiyon telah menulis beberapa karya terkait paham politik ?Wilayatul hakim? (otoritas pemilik ilmu pesan yang tersirat) ini. Quran menobatkan ilmu hikmah sebagai ilmu tertinggi insan sesudah wahyu. Sebagian filsuf Islam mengungkapkan ilmu pesan yang tersirat menggunakan model Hikmah Muta?Liayah Mulla Sadra, yaitu adonan menurut ilmu-ilmu rasional (filsafat), irfan (gnostik),kalam (teologi), dan mistisisme (tasawuf praktis).

Orang-orang yg disebut tuha atau dipeutuha pada kajian politik Aceh adalah orang-orang yg memiliki sebagian menurut ilmu pesan yang tersirat itu menggunakan derajat eksklusif & dipraktekan secara konsisten pada kehidupan mereka. Karenanya yang dipeutuhaselalu mereka yg arif atau memiliki derajat lebih tinggi kearifannya. Sikap arif berbasis ilmu adalah modal utama seseorang dipeutuha yg kepadanya urusan-urusan bersama (pemerintahan) lebih layak diserahkan.

Mengutip premis-premis dasar teori ?Wilayatul hakim? Bahwa masyarakat insan sarat menggunakan tazahum (pertentangan dan ukiran kepentingan) yang penyelesaiannya wajib diserahkan pada satu otoritas (pemerintahan), dan pemerintahan bekerja menciptakan qawanin sebagai kerangka kerja penyelesaiannya. Kandungan & implementasi Qawanin wajib mengklaim keadilan, dan keadilan hanya mampu diketahui dengan ilmu nasihat & ditegakan sang orang berintegritas akhlak tinggi. Maka otoritas wajib diserahkan pada al hakim atau hukama (para pemilik ilmu pesan tersirat) atau orang yang lebih arif diantara insan sekelilingnya dalam komunitas.

Premis-premis inilah yg dipahami baik pada sistem pemerintahan istiadat di gampong-gampong dan mukim-mukim Aceh, sebagai akibatnya tuha-tuha gampong dan mukim dipilih secara ketat menurut orang-orang yang memiliki derajat kearifan lebih tinggi pada rakyat tempatan. Memang, adatokrasi membuat restriksi yg ketat pada rakyat yg mencalonkan diri, sebagaimana perkara ini dilakukan Kanun Syarak Kerajaan Aceh tempo dulu. Sebagian kecil pembatasannya sang hukum & sebagian besarnya dibatasi sang pendidikan yang berhasil membangun rasa memalukan pada setiap orang desa yang berniat buat berkuasa atas orang lain. Malu meminta kekuasaan.

Faktanya sangat jelas. Dengan gagasan demokrasi (pemerintahan warga ) daerah nasional di Aceh (Propinsi dan Kabupaten/kota) telah dikuasai kaum preman mantan kombatan yg melayani kepentingan pemilik modal. Sisi lain, menggunakan gagasan adatokrasi (pemerintahan tuha warga ) kaum preman tidak diberi ruang buat memerintah pada daerah norma. Maka itu, masyarakat patut bertanya, untuk apa kiranya negara memaksa kami melakukan demokratisasi desa, apakah buat menyerahkan daerah tata cara ke pada kekuasaan pasar melalui tangan-tangan preman lokal mantan pejuang?

Penulis merupakan Pensyarah pada Akademi Adat (AKAD) & Penulis Buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh.

Daftar Pustaka:

  • Abdullah Sani. 2005. Nilai Sastera Kenegaraan dan Undang-Undang Dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin. Bangi, Malaysia. Universiti Kebangsaan Malaysia.
  • Ibrahim Alfian. 1987. Perang di jalan Allah. Jakarta. Sinar Harapan.
  • Muhsen Gharawiyan (2010), Wilayatul Hakim (makalah).
  • Naeni Amanullah. 2015. Demokratisasi Desa. Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
  • Harian Serambi Indonesia (26/10/2015), Calon Keuchik Pingsan Saat Perhitungan Suara.
  • Undang-Undang Desa no 6 tahun 2014.
Sumber: islambergerak.com

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2