Desa Unik Penghasil dan Penyalur TKI Terbesar

Sarwadadi, sebuah desa pada kecamatan Kawunganten yg sebenarnya nir terpencil, tetapi terisolir karena syarat jalan yang rusak parah. Padahal Sarwadadi masuk ke wilayah kabupaten Cilacap yang notabene punya kilang minyak yg memiliki sisa bernama aspal. Sebagian daerahnya dihampari pesawahan subur dengan irigasi menurut bendung Manganti. Kontras sekali menggunakan pesawahan pada Kawunganten sebelah selatan yg berawa dan dipengaruhi rob.

Walau sedikit terisolir, pendapatan perkapita masyarakat Sarwadadi termasuk tinggi. Ini sanggup ditinjau menurut sebagian warganya yg punya rumah relatif mentereng walau di kampung. Yang sebagian lagi rumahnya mungkin biasa-biasa saja, tetapi jangan keliru jika sawah atau kebunnya cukup luas. Namun terdapat sedikit yang disayangkan, tingginya pendapatan nir berarti kesadaran untuk meraih jenjang pendidikan ikut tinggi. Warga yang sampai masuk ke jenjang kuliah sanggup dihitung dengan jari. Sebagian akbar merasa cukup dengan ijasah SMP atau SMA buat lalu memilih pulang keluar negeri menjadi TKI.

Tak heran jika kebanyakan warga Sarwadadi begitu gembira apabila punya anak perempuan . Buat mereka anak wanita adalah tumpuan harapan masa depan yang cerah, lantaran wanita lebih mudah dipekerjakan pada luar negeri dan bisa tanpa porto. Ini tidak sama menggunakan laki-laki yang jika ingin keluar negeri tanpa lewat program G2G, paling tidak membutuhkan dana antara 20 - 50 juta rupiah.

Perbedaan syarat pria & perempuan inilah yg kadang menciptakan anak laki-laki cenderung milih membisu di rumah menunggu kiriman dari abang perempuannya. Untuk yg telah berumahtangga pun banyak kasus serupa. Sementara istri kerja di luar negeri, suaminya ongkang-ongkang kaki menikmati keringat istrinya. Tapi nir semuanya begitu, cukup poly juga yang menginvestasikan kiriman devisa itu buat beli sawah atau kebun, sehingga si istri tak perlu terus menerus berangkat setelah kapital usaha dianggap relatif.

Yang bisa investasi semacam itulah yg umumnya sukses di masa depan pada artian bisnis berjalan famili tidak perlu tercerai berai. Yang relatif rancu umumnya mereka yg panasan atau terlalu akbar gengsi. Tipe ini kebanyakan membelanjakan uangnya buat membangun rumah sementereng mungkin. Ketika tempat tinggal jadi, mereka sibuk mencari devisa tambahan buat mengisinya. Padahal rumah akbar tentu isinya wajib banyak agar tidak terkesan melompong. Jadilah sepanjang hayati hanya buat mengejar uang demi gengsinya melalui rumah. Ketika datang masanya wajib pensiun, mereka mulai kelabakan. Iya kalo lokasinya strategis, bangun tempat tinggal di pinggir kali jauh dari jalan saja sampai bertingkat tiga kamarnya 8, kalo dijual apa ya terdapat yg mau beli kalo tidak dibanting harga..?

Negara tujuan secara generik terbagi 2. Mereka yg berumur atau latar belakang pendidikannya agak kurang umumnya pergi ke arab. Bisa dimengerti karena kebanyakan tanpa biaya dimuka & mereka tidak begitu peduli dengan kebebasan. Yang belia muda atau lebih terbuka pikirannya kebanyakan menentukan ke negara asia yg lebih bebas. Disana akses komunikasi dan internet relatif tidak terbatas.

Cukup banyak TKI asal Sarwadadi yg memiliki prestasi dalam bidang tulis menulis atau berbagai kegiatan pada dunia maya. Seperti blogger beridentitas cewekndeso yg ternyata otaknya begitu jenius plus penuh perhatian ke wilayah asalnya, sampai-hingga mendedikasikan segenap energinya yang tersisa buat mengelola website cilacap online. Selain itu terdapat pula blogger berjudul cewekbiasa yg ternyata sangat luar biasa. Cuma buat yang satu ini, katanya off the record.

Sebagai desa pembuat TKI, jangan keliru jika warganya poly yang begitu fasih berbahasa arab atau mandarin sebagai bahasa ke 2. Secara kasar anak Sarwadadi begitu lahir ceprot nir bilang oeee, akan tetapi nihao ma. Namun justru kedekatan kultural yg ditanamkan sejak dini ini yg sebagai kapital primer saat mereka merantau ke negeri orang. Mereka yang sebenarnya mampu dibilang orang kaya, tinggal pada rumah rupawan menggunakan perabotan elektronik serba otomatis, tetapi tidak membuat malu buat berstatus mbabu. Paling tidak, pendekatan itulah yg mampu mengurangi kekerasan majikan terhadap pekerja tempat tinggal tangganya.

Sudah sebagai rahasia generik apabila kebanyakan PJTKI cuma mau cari laba dan kejar setoran doang. Pelatihan bahasa dan kecakapan rumah tangga diberikan asal saja. Akibatnya pekerja yang tak terbiasa dengan peralatan elektronika plus kurangnya kemampuan bahasa, akan jadi pemicu terjadinya kekerasan. Beberapa sahabat TKI bilang, bahwa kekerasan itu bukan semuanya lantaran majikan sadis. Banyak juga peristiwa yang dipicu sang pekerja yang kurang skil atau kemampuan bahasa. Akibatnya apa yg diperintahkan majikan tak sepenuhnya dipahami pekerja. Siang hari bolong majikan minta air es, malah direbusin air. Bayi nangis suruh dikasih biskuit bayi malah dikasih biskuit lebaran atau pisang siyem. Disuruh bikin kue, begitu campuran dimasukan panggang, microwavenya ditaruh diatas kompor. Ya pantes saja majikan ngambek.

Mereka yg akan jadi TKI mungkin mampu belajar mengenai pendekatan kultural ini ke masyarakat Sarwadadi. Mengandalkan PJTKI atau pemerintah sama jua boong. Hasilnya akan misalnya kasus indomie di Taiwan kemarin. Biar istilah kita teriak-teriak indomie lebih aman dibanding indocement, permanen saja mereka tidak mau tau. Padahal permasalahannya tidak begitu rumit & cuma soal pengakuan kultural saja. Coba nama indomie diganti taimie, kayaknya beres deh...

Source

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2