Menyelamatkan Dana Desa, Melunasi Janji Kemerdekaan

"Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tidak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal primer buat bekerja & membuatkan diri."

Kalimat di atas saya kutip dari penggalan lirik lagu berjudul "Desa" karya musikus legendaris Iwan Fals. Siapa saja yang mendengarkan lagu itu hingga selesai tahu bahwa ada persoalan serius yang hendak disampaikan oleh Iwan. Persoalan yang barangkali menjadi kegelisahan kita bersama: ketimpangan pembangunan antara masyarakat desa dan kota.

Desa harus jadi kekuatan ekonomi agar rakyatnya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama untuk bekerja dan mengembangkan diri
Foto Ilustrasi: liputan77.com

Keadilan & pemerataan pembangunan merupakan keliru satu janji kemerdekaan yg mesti segera dilunasi. Itulah salah satu alasan mengapa dana desa menjadi krusial dalam rangka mempersempit jurang kesenjangan antara desa & kota.

Membangun desa yang sejahtera dan mandiri sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Semangatnya kentara, pembangunan tidak boleh hanya terkonsentrasi pada Jawa.

Hal ini pula yang menjadi galat satu acara prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam sembilan acara prioritas (Nawacita) yang dicanangkan Jokowi-Kalla saat kampanye 2014, butir ketiga Nawacita menyatakan komitmen keduanya buat " membangun Indonesia berdasarkan pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuandanquot;.

Komitmen itu diwujudkan pemerintah menggunakan menaikan aturan dana desa per tahun. Mengacu pidato kenegaraan yg disampaikan Presiden pada 16 Agustus 2017 di hadapan anggota DPR dan DPD RI, pemerintah pada 2017 ini sudah mengeluarkan Rp 60 triliun khusus buat dana desa.

Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah anggaran dana desa mengalami peningkatan tidak mengecewakan signifikan. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan aturan sebesar Rp 20,77 triliun buat dana desa. Selanjutnya dalam 2016 anggaran dana desa semakin tinggi sebanyak 123,04 % menjadi Rp 46,98 triliun.

Sayangnya, peningkatan anggaran tadi ternyata rawan menjadi ajang bancakan. Pada dua Agustus 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pamekasan, Jawa Timur. KPK nir saja menangkap Bupati Pamekasan & sejumlah pejabat kejaksaan di sana, tapi pula sejumlah kepala desa yg ditengarai terlibat penyelewenangan dana desa tahun anggaran 2015-2016.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi situasi, agaknya OTT tersebut cukup sebagai alasan kekhawatiran kita, betapa rawannya dana desa diselewengkan oleh oknum aparat pada lapangan. Apalagi sejak acara dana desa digulirkan dalam 2015, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menerima sedikitnya 932 pengaduan tentang defleksi pemanfaatan dana desa. Adapun KPK sudah mendapat sekurangnya 300 laporan.

Ada sejumlah karena mengapa penggunaan dana desa rawan masalah bahkan penggelapan. Pertama, menurut sisi regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2014 mengenai Desa contohnya bertentangan menggunakan PP No. 8/2016 mengenai Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Pada PP No. 47/2015 dinyatakan, 30 persen dana desa buat operasional dan 70 persen sisanya buat urusan kemasyarakatan. Adapun PP No. 8/2016 menjelaskan, dana desa lebih poly dimanfaatkan buat pembangunan infrastruktur. Lain lagi, menggunakan UU No. 6/2014 tentang Desa yg justru menyatakan semua penggunaan dana desa dipengaruhi melalui musyawarah desa.

Kedua, sosialisasi penggunaan dana desa oleh banyak instansi yg nir efektif. Saat ini pengenalan dana desa melibatkan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berjalan tanpa terdapat kordinasi. Sehingga, nir terdapat kejelasan kiprah siapa yang menjelaskan soal regulasi, audit, proyeksi, sampai penggunaan dana desa.

Ketiga, lemahnya supervisi. Hal ini disebabkan kultur feodalisme yang masih mengakar pada desa. Ada perasaan sungkan bahkan takut pada warga untuk mengkritik kebijakan kepala desa.

Belum lagi jumlah desa di Indonesia yg sudah mencapai 83.000 lebih & beredar pada pelosok daerah. Bisa dibayangkan betapa rumitnya melakukan pengawasan aturan secara berjangka pada lapangan.

Mengatasi penyalahgunaan dana desa

Kebocoran anggaran dana desa bisa diupayakan melalui aneka macam cara. Pertama, menaruh pendampingan secara intensif pada desa dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) & Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES). Sebab, dari dua hal itulah basis pemanfaatan dana desa sanggup dioptimalkan sesuai kebutuhan rakyat.

Kedua, meningkatkan energi pengawas lapangan. Saat ini Kementerian Desa memang sudah membangun Satgas Dana Desa yang bertugas mengawasi dana desa. Tetapi, jumlah desa yg sangat poly membuat kerja satgas tidak optimal.

Untuk itu, perlu pelibatan institusi lain yg mempunyai jangkauan luas sampai ke pelosok daerah seperti kepolisian dan kejaksaan.

Ketiga, mendorong transparansi & akutanbilitas penggunaan dana desa. Dalam hal ini nir ada salahnya jika Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi menciptakan semacam keputusan beserta yg mewajibakan setiap aparatur desa mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik pada bidang penggunaan dana desa.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, misalnya akses internet, situs desa, sampai sistem pembukuan daring yg memudahkan perangkat desa mengunggah pertanggungjawaban penggunaan dana desa.

Keempat, menaruh pembinaan dan penyuluhan kepada rakyat desa tentang pentingnya dana desa. Dari sini, rakyat dibutuhkan bisa ikut ambil bagian pada mengawasi penggunaan dana desa. Dengan begitu, ruang untuk menyelewengkan aturan bisa semakin dipersempit.

Kita sadar bahwa mengelola, mengawasi, dan memanfaatkan dana desa di puluhan ribu loka bukanlah urusan gampang. Perlu kolaborasi, kesungguhan, & kesadaran poly pihak buat melakukannya. Lantaran bagaimanapun juga, mewujudkan kesejahteraan generik & keadilan sosial adalah utang kemerdekaan yang mesti segera kita lunasi bersama. Salam.

(Oleh: Abdul Kadir Karding - Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-kini .Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019)

Sumber: Kompas.com.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2