Tiga Paradigma Sosiologi dan Contohnya
Dalam sosiologi, konsep atau pengertian dasar tidak selalu sama, hal ini berhubungan dengan pola pikir orang tentang hakikat masyarakat dan manusia. Untuk itu terdapat tiga paradigma sosiologi yang dapat dipahami yaitu: paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.
Paradigma dimaknai sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan. Berdasarkan paradigma tertentu, ilmuwan merumuskan obyek atau sasaran ilmunya, merumuskan permasalahannya, serta menentukan metode yang dipakai untuk mencari jawaban dari suatu masalah.
1. Paradigma Fakta Sosial
Berdasarkan paradigma ini, masyarakat dipandang sebagai fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu suka atau tidak suka. Struktur masyarakat yang mencakup bentuk pengorganisasian, hirarki kekuasaan dan wewenang, peranan, nilai-nilai, pranata sosial, merupakan suatu fakta yang terpisah dari individu, namun ikut mempengaruhi individu tersebut. Seseorang anak tidak diperkenankan memberikan sesuatu dengan tangan kiri kepada orang tuanya, tetapi harus menggunakan tangan kanan, sebab diharuskan menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di masyarakatnya.
Contoh penting paradigma fakta sosial digunakan Emile Durkheim. Ia berpendapat bahwa hidup sosial manusia adalah fakta tersendiri yang tidak mungkin dimengerti berdasarkan ciri-ciri personal individu dalam masyarakat tersebut. Kehidupan sosial memiliki hukum dan akibat masing-masing. Sehingga sosiologi tidak dapat dikembalikan ke psikologi. Memang ada fakta psikis, namun ada juga fakta sosial.
2. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma sosiologi ini tidak berpijak pada fakta sosial yang obyektif, yaitu struktur dan pranata sosial, melainkan pada proses berpikir manusia. Dalam merancang dan mendefinisikan arti aksi dan interaksi sosial, manusia diposisikan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggungjawab, dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena kemauan manusianya itu sendiri. Sehingga tindakan sosial tidak berpangkal pada struktur-struktur sosial, namun pada definisi bersama yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Contoh penting paradigma definisi sosial ini digunakan oleh Max Weber. Konsep sosiologinya adalah verstchen atau pemahaman mendalam yang diharapkan dihasilkan oleh sosiologi. Tindakan manusia harus diuraikan berdasarkan perspektif subyektif, dan peneliti sosiologi harus menempatkan dirinya pada alam pikiran orang yang dipelajarinya. Pemikiran Weber dalam tulisannya yang berjudul “Inti Semangat Kapitalisme dan Inti Sermangat Kalvinisme”. Ia menunjukkan kemiripan antara nilai-nilai kapitalisme (struktur sosial) dengan cara orang menafsirkan nilai-nilai agama tertentu. Dalam hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dipahami dari cara subyek atau manusia berpikir, dan bukan nilai-nilai sosial sebagai kenyataan obyektif.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma sosiologi ini tidak berpijak pada perbuatan sosial manusia, atau manusia yang berinteraksi. Perbedaan yang spesifik dengan paradigma definisi sosial yakni terdapat penekanan pada pendekatan obyektif empiris. Alasan yang mendasarinya karena hanya perilaku lah yang dapat diamati dan dipelajari dari luar. Fokuskan kajian dalam paradigma ini adalah pada perilaku dan perulangan perilaku.
Manusia dipandang sebagai makhluk yang perilakunya dipengaruhi (deterministik), sehingga bisa dimanipulasi melalui indoktrinasi. Contoh penting paradigma ini adalah Teori Pertukaran (Exchange Theory) yang dikemukakan oleh George Homas. Dalam teori tersebut, manusia digambarkan sebagai makhluk yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Sehingga pokok kajian sosiologi berdasarkan paradigma perilaku sosial adalah memahami kepentingan-kepentingan manusia. Mendalami keyakinan serta kebebasan manusia dipandang semata-mata sebagai mitos.
Demikian tiga paradigma sosiologi dan contohnya. Untuk melengkapi pemahaman tentang sosiologi, baca juga pengertian sosiologi menurut para ahli yang sudah diuraikan dalam artikel sebelumnya di blog ini.