Korupsi Mengepung Desa
Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan & pemberdayaan rakyat menjadi sasaran.
Apabila tidak ada upaya serius buat mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa.
Ilustrasi/Ayo Bangun Desa |
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 mengenai Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yg diterima pemerintah desa wajib dipakai buat membiayai aplikasi program dan aktivitas di bidang pembangunan & pemberdayaan rakyat. Di antaranya pengembangan & perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, & pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.
Apabila dipakai sesuai aturan, asa mempertinggi kesejahteraan rakyat desa semestinya mampu segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, berkata, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan rakyat soal dugaan penyelewengan dana desa.
Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam tren penanganan masalah korupsi 2016, masalah penyimpangan dana desa mengalami peningkatan yang relatif tinggi. Kasus itu berada pada urutan ketiga kasus yang paling banyak ditangani sang aparat penegak hukum, seperti kejaksaan & kepolisian. Dua perkara pada atasnya merupakan keuangan daerah & dana pendidikan.
Modus korupsi
Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar pada 16 provinsi, diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar adalah perangkat desa, terutama kepala desa.
Dari sisi modus, korupsi dana desa biasanya sangat sederhana. Para pelaku masih memakai cara-cara usang, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, & mutilasi aturan. Modus-modus tadi nir memerlukan teknik yang sophisticated.
Sebagai contoh, acara pembangunan & pengadaan barang. Pelaku menyiasati menggunakan membuat planning aturan biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan & membeli barang yg spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam planning anggaran.
Dalam acara-acara pemberdayaan, modus yg seringkali dipakai adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, namun nir ada aktivitas atau barangnya. Kalaupun ada aktivitas, jumlah peserta & durasi ketika riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, mutilasi honorarium buat kader desa atau guru mengaji.
Ada beberapa faktor yg menciptakan para pelaku mampu begitu gampang menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli aturan. Dominasi penyelenggara desa pada penyusunan dan pengelolaan aturan desa masih sangat akbar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran & aktivitas. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, membarui spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, nir akan terdapat yg memahami dan protes.
Kedua, kemauan & kemampuan warga berpartisipasi pada perencanaan dan supervisi masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa & tujuan penggunaannya. Ada jua yang menganggap penyusunan & supervisi bukan urusan mereka. Kalaupun terdapat yang mempunyai kemauan, hal itu nir ditunjang oleh kemampuan buat berpartisipasi pada proses perencanaan ataupun supervisi, misalnya cara-cara menyusun aturan dan mengawasi pelaksaan proyek.
Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa masalah, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan wewenang memverifikasi anggaran, planning pembangunan jangka menengah desa, & laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau pertanda terima kasih dari penyelenggara desa.
Selain itu, ada juga masalah korupsi dana desa yg terjadi lantaran faktor teknis. Para penyelenggara desa nir mempunyai planning melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi lantaran tidak tahu anggaran dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.
Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya kapital buat menaikkan kesejahteraan rakyat. Program yg semestinya bisa menjawab banyak sekali perkara klasik pada desa, misalnya infrastruktur yg buruk & sulitnya akses masyarakat terhadap kapital ekonomi, mampu terancam gagal.
Tidak hanya itu, korupsi pun Mengganggu penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi pada penganggaran nir berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi rakyat buat ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka buat melakukan penyimpangan, sekalipun aturan nir mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.
Penguatan pendampingan
Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana aktivitas & anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi perkara dan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sebagai akibatnya semua orang mampu mengawal.
Syarat supaya syarat tadi terwujud merupakan perangkat desa & masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan planning program & anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak penekanan mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah & poly yg hanya berperan menjadi penasihat kepala desa. Pada akhirnya, eksistensi pendamping desa tak jauh beda menggunakan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.
Penguatan kapasitas, posisi, & peran pendamping desa sebagai kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi & ?Jatah-jatahan? Pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas & integritas sehingga mereka yg terpilih tidak hanya independen, namun jua mempunyai kapasitas buat mendampingi & sebagai jembatan rakyat menggunakan perangkat desa.
Apabila demokrasi & tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah nir perlu repot-repot mengajak KPK buat menakut-nakuti para penyelenggara desa supaya nir korupsi. Sebab, korupsi menggunakan sendirinya akan berkurang. Cita-cita menaikkan kesejahteraan warga desa pun bisa segera terwujud.
Ade Irawan - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch.
Sumber Kompas.Id