Kedudukan Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa dalam Hukum Acara Pidana

Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa - Sebagaimana diketahui bersama fungsi hukum program pidana merupakan buat mencari & menerima atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yg selengkap-lengkapnya berdasarkan suatu kasus tindak pidana sehingga penerapan hukum pidana bisa dengan sempurna & amanah pada seorang atau gerombolan yang melakukan perbuatan pidana itu.

Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa Penuntut Umum

Lebih tegas lagi Van Bemellen menyatakan fungsi aturan acara pidana adalah buat mencari kebenaran, pemberisan kepastian sang Hakim, & aplikasi putusan.

Secara garis besar pemberian kepastian aturan sebagai tumpuan utama pada pelaksanaan hukum acara pidana itu sendiri, sehingga keputusan hakim yg akan diambil merupakan keputusan yang sempurna yang kemudian akan dilakukan pelaksanaan (eksekusi) sang Jaksa sebagai akibatnya tercipta suatu ketertiban, kedamaian, keadilan & kesejahteraan masyarakat.

Dalam penerapannya prosedur aturan program pidana seringkali nir sinkron dengan rasa kepastian & keadilan berdasarkan rakyat itu sendiri, khususnya dari tersangka/ terpidana, atas rasa kurang puas terhadap rasa keadilan & kepastian aturan bagi tersangka/ terpidana.

Kedudukan Hukum Peninjauan Kembali sang Jaksa dalam Hukum Acara Pidana

Hukum program pidana telah memberikan prosedur semenjak dari masa penyidikan hingga upaya aturan luar biasa.

Apabila nir puas terhadap tindakan penyidik dalam masa penyidikan dipersilahkan buat melakukan upaya hukum pra peradilan, jika nir puas menggunakan putusan Hakim taraf pertama dipersilahkan melakukan upaya banding & kasasi, & jika hal tadi jua dirasa kurang menaruh rasa keadilan & kepastian dapat melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK).

Merujuk pada mekanisme hukum acara pidana dimana dalam ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP yang menyatakan "upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohoan peninjauan kembali dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini."

Dalam ketentuan lain yaitu dalam ketentuan pasal 263 yang menyatakan "terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh putusan tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala macam tuntutan, Terpidana dan ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung."

Serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01. PW. 07. 03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan hukum acara pidana dengan jelas dinyatakan bahwa pelaksanaan atas hak Peninjauan Kembali hanya ditujukan kepada terpidana atau ahli warisnya  dalam ketentuan-ketentuan itu disebut sebagai "pemohon" (merujuk sebagaimana ketentuan pasal 264 (1), 264 (4), 265 (2), 263 (3), 265 (4), 266 (2) huruf a, 266 (2) huruf b, dan 268 (2).

Dari kesemua ketentuan pasal sebagaimana tadi jika ditafsirkan maka akan sangat jelas makna menurut peninjauan kembali itu merupakan hak terpidana atau pakar warisnya bukan hak berdasarkan jaksa sebagai penuntut generik.

Dalam prakteknya peninjauan balik seringkali dilakukan oleh Jaksa bukan sang terdakwa atau ahli warisnya, praktik aturan ini merupakan gejala kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) yang dalam implementasinya merupakan suatu cara yg melanggar atau menerobos anggaran-anggaran aturan itu sendiri dalam hal ini merupakan anggaran pada hukum program pidana.

Tindakan aturan ini merupakan kesewenang-wenangan aturan menggunakan cara melakukan penafsiran hukum acara ketentuan pasal 263 KUHAP, sehingga ketika pasal ini dilakukan penafsiran maka analogi hukumnya merupakan hak terpidana & pakar warisnya menjadi korban ketidakadilan berdasarkan aplikasi aturan pidana itu sendiri dirampas oleh negara, sebagai akibatnya pada proses program inspeksi Peninjuana Kembali nantinya negara akan berhadapan menggunakan negara yang diwakili oleh Jaksa.

Penafsiran aturan yang seperti ini bukan saja menimbulkan kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) karena bertentangan dengan anggaran KUHAP itu sendiri, dan menyimpang berdasarkan prinsip-prinsip aturan yang berlaku secara universal yaitu interpretatio cessat in clarris.

Prinsip ini menegaskan bahwa suatu tekstual atau istilah-kata menurut aturan atau undang-undang telah terang dan jelas maka tidaklah perlukan lagi penafsiran.

Akibatnya jika dilakukan penafsiran terhadap suatu tekstual atau kata-kata berdasarkan aturan aturan yang sudah terperinci & jelas tadi akan terjadi penafsiran yang menghancurkan atau interpretatio est perversio menurut suatu tekstual atau kata-kata tadi.

Seharusnya makna berdasarkan tektual atau kata-kata dari undang-undang itu harus ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri atau dengan kata lain wajib dilakukan penafsiran strictissima interpretatio.

Dalam prakteknya selain penafsiran hukum yang keliru terhadap ketentuan pasal 263 KUHAP juga sering jaksa melakukan penafsiran terhadap ketentuan pasal 24 (1) Undang-undang No 48 Tahun 2009, terhadap ketentuan pasal ini apabila ditelaah secara yuridis penafsiran berdasarkan ketentuan ini pun menggunakan jelas menyatakan pihak yg menyatakan buat mengajukan Peninjauan Kembali merupakan bukan Jaksa tetapi terpidana atau pakar warisnya.

Hal tadi dinyatakan pada pasal 24 (2) yg menjelaskan pihak-pihak adalah merupakan kebiasaan lex generalis (perkara pada umumnya) sementara PK masalah pidana diatur spesifik (lex specialis) dalam pasal 263 (1) KUHAP sebagai akibatnya berlaku (lex specialis derogat legi generalis).

Patutlah menjadi perhatian bahwa apa yang dilakukan oleh jaksa berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali bukanlah merupakan suatu terobosan hukum atau bahkan bukanlah penemuan hukum yang dilakukan oleh jaksa itu sendiri, bahwa suatu keadaan atau suatu syarat-syarat tertentu hakim bisa saja menggali dan melakukan penafsiran, demikian juga dengan jaksa dan advokat dan juga para ahli hukum diperkenankan untuk melakukan penafsiran hukum.

Dalam konteks penafsiran hukum ini, ekskavasi sanggup dilakukan terhadap kebiasaan yg sudah ada atau menggali dari kasus atau insiden yang sedang ditangani.

Tentu saja penafsiran tadi wajib berkaitan menggunakan keadaan khusus, yakni jika suatu kasus nir terdapat dasar hukumnya atau dasar hukumnya ada namun samar-samar dalam rangka penerapannya.

Penafsiran aturan sebagaimana tersebut diatas jua pada penerapannya, khususnya pada perkara tindak pidana wajib memakai cara-cara & kondisi yg sangat ketat dan nir boleh menyimpang menurut KUHAP, hal ini dikarenakan pada setiap masalah tindak pidana selalu dibatasi oleh asas legalitas sebagai pijakan aturan dari adanya suatu perbuatan melawan aturan.

Beranjak menurut pemikiran ini dapatlah disimpulkan bahwa pengajuan peninjauan balik sang jaksa bukanlah adalah penafsiran atau terobosan hukumkarena rumusan ketentuan pasal 263 (1) sudah jelas dan jelas sehingga sifatnya tertutup nir boleh ditafsirkan lagi.

Selain itu juga tidak ada alasan yuridis berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa sehingga dengan sendirinya jaksa telah keluar dari cara-cara yang lazim dalam melakukan penafsiran sehingga dengan sendirinya jaksa melakukan hal yang memang bukan wewenang hukumnya,wewenang jaksa.

Jelaslah apa yg dilakukan sang Jaksa berkaitan dengan pengajuan Peninjauan Kembali adalah pelanggaran terhadap ajaran legisme aturan, Jhon Austin pada pemikirannya tentang teori perintah (command theory) menyatakan dengan tegas bahwa perintah undang-undang haruslah dilakukan & karena itu tidak dapat dilakukan defleksi (deviation) tanpa mengabaikan prinsip-prinsip keadilan.

Oleh karena itu pelaksanaan isi undang-undang ini merupakan bentuk keamanan dan kepastian aturan sebagaimana dikemukakan dalam positivisme aturan.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2