Aspek Putusan Pengadilan - Keadilan Prosedural dan Keadilan Substantif

Pada dasarnya putusan pengadilan mengandung dua aspek yaitu prosedural justice dan substantive justice (Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa Pokok Pikiran dan Prospeknya ke Depan, dalam Susanti Adi Nugroho, DKK, Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, halaman 94).

Keadilan Prosedural adalah keadilan yg didasarkan dalam ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan aturan formal, seperti mengenai tenggat waktu juga syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.

Keadilan Substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani (Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2010 halaman 9).

Aspek Putusan Pengadilan

Pada aspek prosedural justice (dalam perkara pidana) berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang penegakan hukum.

Pada bagian ini merupakan awal mula proses pengambilan putusan suatu kasus diproses dan diajukan ke pengadilan atau tidak.

Berbeda dalam masalah pidana, dalam kasus perdata kasus prosedural justice ini berkaitan dengan keputusan seseorang yg merasa dirugikan disebabkan adanya dugaan perbuatan melawan hukum orang lain dan lalu mengajukan keberatan (gugatan) pada yang bersangkutan ke pengadilan.

Aspek Putusan Pengadilan

Putusan buat menggugat seseorang atau lembaga tidak ada hubungannya menggunakan kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan sang hubungan yg nir harmonis antara penggugat dan tergugat.

Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat objektif dengan parameter anggaran aturan program & hukum pembuktian yang konkrit dengan standart yang tegas (terukur).

Proses verifikasi biasanya memerlukan donasi atau dapat melibatkan ilmu pengetahuan yg objektif. Hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiah (objektif) sang siapa saja.

Sungguhpun demikian, ada aspek subjektif berdasarkan konsep prosedural justice, yakni seluruh pihak yg terlibat dalam proses pengambilan putusan bisa menafsirkan hasil verifikasi dari ilmu pengetahuan yang tersebut karena tidak selaras perspektif.

Substansive justice nir mempunyai ukuran yang seobjektif prosedural justice.

Suatu diktum atau pemidanaan adalah suatu kesimpulan (conclusion) berdasarkan aktivitas penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstracto) yg dilakukan sang hakim terhadap warta-informasi hukum yg telah diuji di pengadilan (in concretto).

Di samping itu, putusan pengadilan juga dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung pandangan pribadi hakim mengenai aspek-aspek kehidupan yang terkait dengan materi perkara yang sedang diputuskan sehingga menyebabkan terjadinya disparitas dalam pemidanaan dan juga penilaian terhadap kesalahan pelanggar hukum (yakni penilaian terhadap sikap batin dan hubungan antara sikap batin dengan perbuatan yang menyebabkan seseorang dapat dicela karenanya) (Ibid, halaman 95-96).

Putusan pengadilan yang memiliki dua unsur keadilan tersebut (prosedural dan substansial justice) dapat dikatakan sebagai putusan publik, meskipun perkara yang diadili menurut hukum termasuk kategori putusan privat (perdata).

Putusan pengadilan yg sudah mempunyai kekuatan aturan yang permanen bisa sebagai sumber aturan dalam menuntaskan peprkara yg sama dimasa mendatang (asal aturan yurispridensi).

Putusan pengadilan tentang kasus perdata (privat) bisa mensugesti publik, terutama mengenai citra aturan, penegakan hukum dan keadilan.

Setiap putusan pengadilan menjadi barometer hukum, penegakan hukum dan keadilan dalam suatu masyarakat dan negara (Ibid).

Secara ideal putusan pengadilan harus mewujudkan harapan pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai aturan dan rasa keadilan rakyat, selain menurut 2 aspek diatas, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi menggunakan baik.

Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan memuat idee des recht, yang meliputi 4 unsur, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit) (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, halaman 15).

Ketiga unsur tadi semestinya sang Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat didapatkan putusan yg berkualitas dan memenuhi asa para pencari keadilan.

Senada dengan hal tersebut,  Antonius Sujata dalam bukunya "Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Bahavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar" Halaman 44 menyatakan bahwa hukum serta penegakan hukum dimana pun dan saat kapan pun memiliki cita-cita luhur, yaitu keadilan, kepastian, ketertiban, serta manfaat.

Keadilan pada hakikatnya memberi perlindungan atas hak dan ketika yg sama mengarahkan kewajiban sebagai akibatnya terjadi ekuilibrium antara hak & kewajiban di pada masyarakat.

Dengan keadilan procedural baru memberi agunan kepastian dan ketertiban, namun belum tentu memberi keadilan secara substansial.

Dalam syarat normal, memang idealnya setiap hukum (Perundang-undangan) termasuk putusan hakim wajib dijiwai oleh ketiga nilai dasar hukum (keadilan, kepastian, & kemanfaatan).

Realitas menerangkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan yang lainnya, contohnya, antara keadilan dan kepastian aturan ataukah antara kemanfaatan & kepastian hukum.

Gustav Radbruch menegaskan bahwa di pada kenyataannya, ketiga unsur esensial hukum (keadilan, kemanfaatan & kepastian hukum) sulit terwujud secara bersamaan, lebih seringkali pertarungan antara ketiganya. Biasanya konflik tadi ada lantaran dua hal.

Pertama, hukum (Perundang-undangan) diciptakan untuk melindungi kepentingan politik (in the interest of politic) bagi kelompok atau golongan terentu.

Produk aturan seperti ini sejak semula, ketika diundangkannya, cenderung mengabaikan realitas sosial. Konsekuensi logisnya Undang-Undang tadi bertentangan menggunakan rasa keadilan pada warga .

Kedua, peraturan Perundang-undangan yang tidak ada relevan (lagi) dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Mungkin dalam saat diundangkannya & dalam masa awal berlakunya sesuai dengan empiris dan rasa keadilan dalam warga , tetapi lambat laun dirasakan nir relevan lagi.

Konsekuensinya apabila Perundang-undangan tadi dipaksakan berlakunya, akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam rakyat. Dalam kontek ini, akan muncul permasalahan antara keadilan & kepastian hukum.

Iklan Atas Artikel

Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel1

Iklan Bawah Artikel2